Jumat, 19 Oktober 2018

Udzur Sholat


◆◆UDZUR SHALAT◆◆

An-Naumu Wannisyaanu
Udzur-udzurnya sholat itu ada2:
Tidur dan lupa
Syarh atau Penjelasan

Waktu Shalat yang lima waktu, subuh, dzuhur, asar, maghrib dan isya, sudah ditetapkan batas waktunya.
Umat Islam dituntut dalam melaksanakan shalat harus tepat pada waktunya yang telah dibatasi.
Shalat yang dilakukan dalam waktunya disebut sebagai shalat adha’.
Namun ada dua sebab yang bisa diperbolehkannya shalat dilaksanakan di luar waktu yang telah ditentukannya,
atau sholat di luar waktunya,
yaitu karena tidur dan lupa.

Sedangkan sholat yang dikerjakan di luar waktunya disebut sebagai sholat qadha.

Tidur atau tertidur dan lupa adalah yang menyebabkan diperbolehkannya seseorang untuk melaksanakan shalat di luar waktu yang telah ditentukan atau shalat qadha, dan ia tidak berdosa.

Pertama, tidur atau tertidur.
Artinya tidur yang tidak sembarangan dan yang betul-betul lena dan nyenyak sehingga seseorang tidak dapat bangun tetap pada waktu shalat, maka diperbolehkan shalat di luar waktunya.

Jika seseorang bangun dari tidurnya pada waktu yang mencukupkan atau memadai untuk melaksanakan wudhu dan shalat, maka ia diwajibkan untuk sesegera mungkin melaksanakannya agar tidak keluar waktu.
Tapi jika seseorang bangun dari tidurnya pada waktu yang hanya cukup untuk berwudhu saja, tidak bisa mencakup untuk sekalian shalat, maka ia tidak diwajibkan melakukannya dengan secara terburu-buru dan tidak wajib mempersegera melaksadakan shalat qadha,
meski ada sisa waktu yang cukup untuk melaksanakan wudhu dan tidak mencukupi untuk melaksanakan satu rakaat pun.

Etika orang yang hendak melaksanakan shalat qadha,
hendaknya seseorang mengdahulukan shalat qadha-nya dan kemudian baru melaksanakan shalat adha-nya.

Semisal, seseorang yang terlena tidur di waktu dzuhur sampai terbangun dari tidur pada saat sudah keluar waktu dan memasuki waktu shata Ashar,
maka ia harus terlebih dahulu melaksanakan shalat Dzuhur, kemudian disusul dengan shalat Asahar.

Jika seseorang yang telah tertidur pada hari Jumat sampai tidak bisa mengikuti shata Jumat,
maka ia harus meng-qadhai dengan cara melaksanakan shalat dzuhur, bukan shalat Jumat.

Sebab shalat Jumat dapat dilaksanakan kalau memenuhi syarat dan rukunnya, di antara syaratnya adalah harus berjamaah minimal sengan 40 orang jamaah.

Sedangkan qadha merupakan persoalan kasuistik dan udzur, yang tidak mungkin dilaksanakan secara berjamaan dengan 40 orang.
Maka ia harus meng-qadha dengan shalat dzuhur.
Dalam hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim menyatakan bahwa
“Barang siapa yang tertidur atau lupa sehingga meninggalkan shalat, maka lakukanlah shalat pada saat terjaga atau pada saat sudah ingat”.
Meski demikian, nabi memberikan peringatan bahwa jika tidurnya tidak sembarangan atau tidak sembrono tanpa disengaja, maka ia boleh meng-qadha dan tidak berdosa. Sebagaimana hadits Nabi yang mengatakan bahwa
“Tidak ada kesembronoan dalam tidur, yang mengakibatkan seseorang tidak shalat sehingga masuk waktu shalat yang lain”.

Dengan demikian, jika seseorang tertidur sembarangan,
Selain ia berdosa tetapi j7ga wajib melaksanakan shalat qadha.

(Peringatan);
Banyak tidur adalah salah satu penyebab yang bisa mengakibatkan orang kaya menjadi miskin, dan menambah parah atau bertambah kemiskinannya bagi orang yang miskin.

Kedua, lupa.
Artinya seseorang lupa jika ia belum shalat,
maka ia diharuskan meng-qadha dan tidak mendapatkan dosa.

Akan tetapi penyebab lupan buka dikarenakan kesembronoan atau disebabkan aktifitasi yang sia-sia,
seperti maen catur, atau tidak disebabkan mengerjakan maksiat.

Namun jika sebaliknya,
lupa disebabkan mengerjakan sesuatu yang tidak bermanfaat atau mengerjakan maksiat, maka selain ia tetap harus mengerjakan shalat qadha tapi ia juga mendapatkan dosa, sebab lupa meninggalkan shalat lantaran mengerjakan maksiat atau melakukan hal yang tidak bermanfaat.

Berkaitan dengan hadits yang menjelaskan lupa sebagai penyebab meninggalkannya shalat sudah disebutkan di atas, dalam pembahasan tidur atau tertidur sebagai salah satu penyebab meninggalkan shalat.

Shalat qadha bagaikan hutang yang harus dibayar oleh siapa pun yang menginggalkan shalat pada waktu yang ditentukan.

◆◆_______________◆◆◆_____________◆◆

◆◆SYARAT SHOLAT◆◆

Syuruuthush-Sholaati Tsamaaniyyatun :
Ath-Thohaarotu ‘Anil Hadatsaini Al-Ashghori Wal Akbari,
Wath-Thohaarotu ‘Aninnajaasati Fits-tsaubi Walbadani Wal Makaani ,
Wasatrul ‘Auroti ,
Wastiqbaalul Qiblati ,
Wadukhuulul Waqti ,
Wal’ilmu Bifardhiyyatihaa ,
Wa An Laa Ya’taqida Fardhon Min Furuudhihaa Sunnatan , wajtinaabul Mubathilaati.
Al-Ahdatsu Itsnani :
Ashghoru Wa Akbaru,

Al-Ashghoru
Maa Awjabal Wudhuua
Wal Akbaru Maa Awjabal Ghosla.

Al-’Aurootu Arba’un:
‘Auroturrojuli Muthlaqon Wal Amati Fishsholaati Maa Bainassurroti Warrukbati ,

Wa ‘Aurotul Hurroti Fishsholaati Jamii’u Badanihaa
Maa Siwal wajhi Wal Kaffaini

Wa ‘Aurotul Hurroti Wal Amati ‘Indal Ajaanibi Jamii’ul Badani Wa ‘Inda Mahaarimihaa Wannisaai Maa Bainassurroti Warrukbati.

Syarat-syarat sholat yaitu 8 :

Syarat-syarat sholat yaitu 8 :
Suci dari 2 hadas yakni hadats kecil dan hadas besar ,
dan suci dari segala najis pada pakaian
dan badan
dan tempat ,
dan menutup aurat ,
dan menghadap kiblat ,
dan masuk waktu ,
dan mengetahui dengan fardhu-fardhunya ,
dan bahwa jangan ia beri’tiqod akan yg fardhu daripada fardhu-fardhu sholat
akan sunah,
dan meninggalkan segala yg membatalkan sholat.

Syarh atau Penjelasan
Syarat Shalat
Syarat Shalat ada delapan.
Syarat adalah segala sesuatu yang menentukan ke-sah-an shalat.
Sebagaimana rukun.
Namun, perbedaannya yaitu syarat adalah segenap sesuatu yang harus dipenuhi sebelum mengerjakan shalat, sementara rukun adalah segenap sesuatu yang harus dipenuhi pada saat shalat dilaksanakan.

Kedua-duanya, syarat dan rukun, harus terpenuhi demi ke-sah-an shalat.
Jika tidak dipenuhi salah satunya atau tidak dipenuhi sebagian dari syarat dan rukun, maka shalat tidak bisa dianggap sah.

Karena itu, sah dan tidaknya shalat sangat tergantung pada terpenuhinya syarat dan rukun yang telah ditentukan.

Syarat shalat yang pertama, suci dari kedua hadats,
yaitu hadats kecil seperti kecing dan berak, dan hadats besar seperti keluar seperma (mani) akibat bersetubuh suami-istri atau dengan sebab yang lainnya, seperti bermimpi, dll.,
yang diharuskan mandi junub.

Syarat kedua, suci dari najis dalam pakean, badan dan tempat seseorang yang melaksanakan shalat.
Yang dimaksud dengan najis tersebut adalah najis yang la yu’fa ‘anhu (tidak bisa dimaklumi menurut syariah).

Perlu diketahui bahwa najis ada empat macam.
Pertama, najis yang tidak dapat dimaklumi (ya yu’fa ‘anhu) menurut syariat baik menempel di baju atau di dalam air.
Najis jenis ini sudah kita kenal bersama, yaitu najis yang biasa kita fahami, seperti kotoran orang, darah, dll.

Kedua, najis yang dapat dimaklumi menurut syariat baik di baju atau pun di pakean. Seperti najis yang tidak bisa dilihat dengan penglihatan yang wajar dan biasa.
Artinya dilihat dengan mata telanjang, tanpa menggunakan alat pembesar, seperti Miskroskup, dll.

Ketiga, najis yang tidak dapat dimaklumi menurut syariat jika menempel dalam pakean tapi dimaklumi (ma’fu) jika berada di dalam air, seperti darah yang sedikit.
Karena darah sedikit dapat dengan mudah dihilangkan dengan air.
Dan jika menempel di baju, akan mengerahkan tenaga dengan susah payah menghilangkannya dan akan bisa jadi merusak baju akibat terus terusan dibasuh.
Termasuk jenis najis tersebut juga adalah sisa-sisa istinja (bersuci dengan menggunakan batu),
maka dimaklumi atau dimaafkan jika masih ada di badan dan pakean, meskipun sisa-sisa tersebut terbasahi oleh keringat dan terbawa mengalir dan mengenai pakean.
Tapi sisa-sisa istinja tersebut tidak bisa dimaklumi jika berada di dalam air.

Keempat, najis yang dimaklumi jika ada di dalam air, tapi tidak dimaklumi jika menempel di pakean.
Jenis najis tersebut seperti bangkai binatang yang tidak memiliki darah yang mengalir, seperti Kutu (Tuma),
sehingga jika seseorang dengan sengaja pada saat shalatnya membawa Kutu di dalam pakeannya maka shalatnya batal, alias tidak bisa dianggap sah.
Termasuk dalam jenis najis tersebut adalah pantatnya burung yang terdapat najis yang menempel dan burung tersebut jatuh ke dalam air, maka burung tersebut tidak bisa dikatakan menajiskan air.
Dengan kata lain airnya masih dianggap suci.
Akan tetapi berbeda dengan pantat manusia.
Jika seseorang yang pantatnya terkena najis,
maka shalatnya tidak sah.

Menurut Imam as-Syihab ar-Ramly bahwa batasan sedikit dan banyaknya najis dapat diketahui menurut pandangan umum (‘urf), yang menyatakan bahwa jika najis tidak susah terdeteksi dan susah dihindarinya maka termasuk najis yang sedikit (qalyl),
jika lebih dari itu (baca, mudah terdeteksi, jelas dan mudah untuk dihindarinya) maka termasuk najis yang banyak (katsir). Sebab pada dasarnya najis sedikit yang dapat dimaklumi oleh syariat (ma’fu ‘anhu) adalah karena susah untuk dihindari (ta’adzuri al-ikhtiraz).

Sedangkan sebagian ulama berpendapat bahwa batasan banyaknya najis adalah batasan dimana seseorang dapat melihatnya dengan jelas tanpa mengangan-angan, memikirkan dan menelitinya.

Syarat shalat yang ketiga,
menutup aurat.
Batasan menutup aurat dengan sekiranya kulit seseorang tidak dapat dilihat oleh mata orang lain.
Ada perbedaan batasan aurat dalam shalat bagi laki-laki dan perempuan.
Batasan aurat bagi laki-laki yang wajib ditutup adalah anggaota badan di antara pusar sampai dengan lutut.

Sedangkan aurat bagi perempuan yang wajib ditutup adalah sekujur tubuhnya kecuali wajah dan kedua telapak tangannya.

Orang yang hendak melaksanakan shalat harus menutupi auratnya, meski shalat di kegelapan malam atau berada di tempat yang sepi.
Dan disunahkan bagi seorang yang melaksanakan shalat dengan menggunakan pakian yang terbaik yang dimilikinya.

Syarat shalat yang keempat, menghadap Kiblat.
Kewajiban menghadap Kiblat pada saat seseorang melaksanakan shalat berdasarkan ayat al-Quran yang memerintahkan menghadap Kiblat.
Sebagaimana Allah berfirman;

قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ وَإِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُون
َ

“Sungguh kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh kami akan memalingkan kamu ke Kiblat yang kamu sukai.
Palingkanlah mukamu ke arah Masjid al-Haram.
Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.
Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al-Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui bahwa berpaling ke Masjid al-Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan”.

Dalam ayat tersebut Allah telah memerintahkan lebih dari satu kali memerintahkan kita untuk menghadap kiblat.
Dan ayat tersebut dipertegas dengan ayat yang lain, sebagaimana Allah berfirman;

وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَإِنَّهُ لَلْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ, وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَيْكُمْ حُجَّةٌ إِلَّا الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِي وَلِأُتِمَّ نِعْمَتِي عَلَيْكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ

“Dan dimana saja kamu keluar, maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjid al-Haram;
sesungguhnya ketentuan itu benar-benar sesuatu yang hak dari Tuhanmu.
Dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan. Dan darimana saja kamu keluar, maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjid al-Haram.
Dan dimana saja kamu (sekalian) berada, maka palingkanlah wajahmu ke arahnya, agar tidak ada hujjah manusia atas kamu, kecuali orang-orang yang dzalim di antara mereka.
Maka janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepadaKu.
Dan agar kesempurnaan nikmatKu atasmu, dan supaya kamu mendapat petunjuk”.

Ada sebuah ungkapan kaidah yang mengatakan bahwa
“kullu syain mustasnayatun” (Setiap sesuatu ada pengecualiannya).

Sebagaimana dalam persoalan menghadap Kiblat, ada dua keadaan yang mana seorang yang melaksanakan shalat diperbolehkan untuk tidak menghadap Kiblat.

Pertama, keadaan seseorang yang teramat mencekam dalam bayang-bayang ketakutan (syadzid al-khauf).
Seperti kondisi peperangan, dimana jika memaksakan kehendak untuk berusaha menghadap Kiblat, maka akan tertangkap basah oleh musuh dan nyawa pun akan melayang,
Kondisi seperti inilah yang membolehkan seseorang shalat tidak menghadap Kiblat.

Kedua, shalat sunah yang dilaksanakan dalam kondisi bepergian yang diperbolehkan menurut syariat.

Dengan kata lain, perjalanan tidak dalam keadaan atau demi mencapai tujuan yang bernuansa maksiat.

Ketahuilah bahwa terdapat empat derajat kiblat, sesuai dengan kadar dan cara mengetahui eksistensinya.
Pertama, seseorang yang benar-benar melihat dan mengetahui secara langsung Kiblat.

Kedua, mengetahui Kiblat dari informasi seorang yang dapat dipercaya, seperti ia mengatakan; aku melihat sendiri Kiblat.

Ketiga, mengetahui Kiblat melalui ijtihad.

Dan keempat, mengetahui Kiblat melalui taqlid pada mujtahid.



Syarat shalat yang kelima,
masuk waktu.
Mengetahui masuknya waktu secara yakin benar-benar mengetahui secara persis, atau dengan praduga (dhzan) melalui ijtihad yang sungguh-sungguh.
Ada tiga tingkatan dalam mengetahui masuknya waktu shalat.

Pertama, mengetahui sendiri secara langsung, atau mengetahui dari informasi seseorang yang dapat dipercaya, atau melihat petunjuk Bencet yang benar dan tidak rusak, atau mengetahui melalui petunjuk bayang-bayang matahari, atau jam dan Kompas.
Termasuk juga adzan seorang muadzin termasuk petunjuk yang dapat mengetahui masuknya waktu shalat.

Kedua, ijtihat melalui penggalian al-Quran, belajar, mengkaji ilmu, atau menganalisa melalui fenomena alam, seperti kokok Ayam di pagi hari. Harus diteliti apakah kokok ayam telah menunjukkan waktu subuh sudah masuk atau belum.
Maka tidak boleh mengikuti kokok ayah dengan tanpa diteliti dan berijtihan terlebih dahulu.

Ketiga, taklid pada seorang mujtahid. Maka jiaka seseorang mampu berijtihan sendiri, maka tidak boleh mengikuti ijtihan orang lain.
Dengan syarat ia dalam kondisi dapat melihat.
Sementara bagi orang yang buta harus taklid pada mujtahid, meski ia sebenarnya mampu berijtihad.
Karena kebutaannya itu lah sehingga mengakibatkan ia tidak mampu meneliti secara komprehensip dan seksama atas sesuatu.

Syarat Shalat yang keenam adalah mengetahui kefardhuan shalat. Artinya bahwa shalat lima waktu itu diketahui dan diyakini sebagai shalat yang wajib dilaksanakan bagi seluruh umat Islam.

Syarat shalat yang ketujuh adalah tidak meyakini shalat fardhu sebagai pekerjaan yang disunahkan.

Syarat shalat yang kedelapan adalah menjauhi segala sesuatu yang membatalkan shalat.
Hadats ada dua, hadats kecil dan hadats besar.
Hadats kecil adalah hadas yang telah mewajibkan wudhu, seperti kentut. Sedangkan hadas besar adalah hadas yang mewajibkan mandi, seperti Junub, haid, nifas, dan melahirkan.
Batasan aurat terdapat empat macam.

Pertama, aurat laki-laki secara mutlak, baik dalam shalat atau di luar shata, dan budak pada saat shalat adalah anggauta badan di antara pusar sampai dengan lutut.

Kedua, aurat perempuan merdeka pada saat shalat adalah sekujur badan kecuali wajah dan kedua telapak tangan.

Ketiga, aurat perempuan merdeka dan amat (budak) pada saat di hadapan laki-laki lain adalah seluruh badannya.

Dan keempat, aurat perempuan merdeka dan amat pada saat di hadapan mahramnya atau di hadapan peremuan lain adalah anggauta badan di antara pusar sampai dengan lutut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar