Jumat, 19 Oktober 2018

Kitab Safinah


kitab safinah
Tentang Penulis & Ringkasan Isi Kitab

PENJELASAN TENTANG PENULIS DAN ISI KITAB

Penulis kitab Safinah adalah seorang ulama besar yang sangat terkemuka yaitu Syekh Salim bin Abdullah bin Sa'ad bin SumairAl-Hadhrami.
Beliau adalah seorang ahli fiqh dan tasawwuf yang bermadzhab Syafi'i. Selain itu, beliau adalah seorang pendidik yang dikenal sangat ikhlas dan penyabar, seorang qodhi yang adil dan zuhud kepada dunia, bahkan belia juga seorang politikus dan pengamat militer negara­negara Islam.

Beliau dilahirkan di desa Dziasbuh, yaitu sebuah desa di daerah Hadramaut Yaman, yang dikenal sebagai pusat lahirnya para ulama besar dalam berbagai bidang ilmu ke­agamaan.

Sebagaimana para ulama besar lainnya, Syekh Salim me­mulai pendidikannya dengan bidang Al-Qur'an di bawah peng­awasan ayahandanya yang juga merupakan ulama besar, yaitu Syekh Abdullah bin Sa'ad bin Sumair. Dalam waktu yang singkat Syekh Salim mampu menyelesaikan belajarnya dalam bidang Al-Qur'an tersebut, bahkan beliau meraih basil yang baik dan prestasi yang tinggi.

Beliau juga mempelajari bidang­bidang lainnya seperti Beliau juga mempelajari bidang­bidang lainnya seperti halnya ilmu bahasa arab, ilmu fiqih, ilmu ushul, ilmu tafsir, ilmu tasawuf, dan ilmu taktik militer Islam. Ilmu-ilmu tersebut beliau pelajari dari para ulama besar yang sangat terkemuka pada abad ke-13 H di daerah Hadhramaut, Yaman.

Tercatat di antara nama-nama gurunya adalah:
Syekh Abdullah bin Sa'ad bin Sumair
Syekh Abdullah bin Ahmad Basudan

Kitab Safinah memiliki nama lengkap "Safinatun Najah Fiima Yajibu `ala Abdi Ii Maulah" (perahu keselamatan di dalam mempelajari kewajiban seorang hamba kepada Tu­hannya).

Kitab ini walaupun kecil bentuknya akan tetapi sa­ngatlah besar manfaatnya.
Di setiap kampung, kota dan negara hampir semua orang mempelajari dan bahkan menghafalkan­nya, baik secara individu maupun kolektif.

Di berbagai negara, kitab ini dapat diperoleh dengan mudah di berbagai lembaga pendidikan.
Karena baik para santri maupun para ulama sangatlah gemar mempelajarinya dengan teliti dan seksama.Hal ini terjadi karena beberapa faktor, di antaranya:Kitab ini mencakup pokok-pokok agama secara ter­padu, lengkap dan utuh, dimulai dengan bab dasar­dasar syari'at, kemudian bab bersuci, bab shalat, bab zakat, bab puasa dan bab haji yang ditambahkan oleh para ulama lainnya.

Kitab ini disajikan dengan bahasa yang mudah, susunan yang ringan dan redaksi yang gampang untuk dipahami serta dihafal. Seseorang yang serius dan memiliki ke­mauan tinggi akan mampu menghafalkan seluruh isinya hanya dalam masa dua atau tiga bulan atau mungkin lebih cepat.

◆RUKUN ISLAM◆

Arkaanul Islaami Khomsatun :
Syahaadatu An Laa Ilaaha Illallaahu Wa Annna MuhammadanRosuulullaahi ,
Wa Iqoomushsholaati ,
Wa Iitaauzzakaati ,
Wa Shoumu Romadhoona,
Wa Hijjul Baiti Man Istathoo’a Ilaihi Sabiilan

Rukun-rukun Islam itu ada 5 :
Bersaksi bahwa tiada Tuhan
selain Allah dan bahwa Muhammad utusan Allah ,
dan Mendirikan Sholat ,
dan Memberikan Zakat ,
dan Puasa Bulan Romadhon ,
dan Pergi Haji bagi yg mampu
kepadanya berjalan( menempuh perjalanannya )

Syarh atau Penjelasan Kitab Safinah an-Najah
Pertama,
Kedua kalimat Syahadat yang menyatakan bahwa seseorang telah mempercayai dua hal,
yaitu iman dan percaya bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah rasul (utusan-Nya).
Persaksian ini merupakan komitmen keimanan seseorang yang tidak sebatas ikrar dan retorika an sich,
namun diwujudkan dalam ranah amaliyah-aplikasi religiuitasnya. Sebuah ikrar dan persaksian mengandung konsekuensi tersendiri,
yaitu berupa ketaatan dan kepatuhan terhadap segenap doktrin Allah dan utusan-Nya.
Keduanya diistilahkan dengan Syahadat Tauhid dan Syahadat Rasul. Allah dan rasul-Nya tidak bisa dipisahkan, sebab rasul-Nya lah yang menyampaikan pesan-pesan dan ajaran-ajaran langit yang turun dari Allah. Dan setiap orang Islam wajib mempercayai segenal ajaran yang dibawa oleh rasul-Nya.

Apakah persaksian tersebut harus diikrarkan atau dilafadzkan melalui lisan dan diyakini dengan hati? Atau persaksian itu cukup diyakini dengan hati, tanpa dilafadzkan dengan lisan? Para ulama tauhid berbeda pendapat.

Pendapat pertama,
Seseorang yang meyakini dan menanamkan keimanan di dalam hati tanpa mengikrarkan dengan lisannya serta dalam kondisi normal, yaitu lisannya dapat berkata dan melafadzkan kata-kata, maka orang tersebut tetap tidak bisa dikatakan orang Islam alias masih kafir. Sedangkan urusan dia dihadapan Allah adalah hak perogratif yang tidak bisa dihukumi.

Pendapat yang kedua,
yang diungkapkan sebagian besar ulama dan Imam Abu Manshur al-Maturidi menyatakan bahwa orang tersebut termasuk orang Mukmin dan Islam. Sebab pengucapan Syahadat sebagai persaksian dengan lisan hanya untuk memenuhi persyaratan administrasi negara saja, sehingga dapat menikah, mendapatkan warisan dari keluarga atau orang tua yang Islam, dll, lantaran segenap hukum-hukum tersebut tidak dapat dijalankan kecuali setelah adanya ucapan persaksian, kejelasan dan iklan atau pemberitahuan pada pihak yang berwenang, seperti pemimpin negara, bupati, dll.

Pendapat kedua tersebut didukung oleh Imam al-Ghazali, Ibnu Rusydi dan Ibnu ‘Arafah. Sebagaimana Ibnu Rusydi mengatakan bahwa “Karen Islamnya seseorang yang tertanam di dalam hati adalah keislaman yang hakiki.
Jika ia mati sebelum sempat mengucapkan syahadat sebagai persaksiannya, maka ia termasuk mati dalam keadaan mukmin”.

Pendapat ketiga
yang diungkapan oleh kebanyakan ulama salaf, seperti Imam Abu Hanifah dan Imam as-Syafi’i menyakini bahwa orang tersebut di hadapan Allah belum dikatakan orang mukmin.
Sebab pengucapan dan persaksian dengan ikrar lisan adalah sebagian dari iman atau rukum iman, atau salah satu syarat sahnya iman di dalam hati.

Sementara jika seseorang yang lidahnya tidak memungkinkan mengucapkan atau mengikrarkan seperti karena bisu (gebu) atau karena mendadak mati,
maka ulama telah bersepakan bahwa orang tersebut tidak diwajibkan atau gugur kewajiban untuk melafadzkan dan mengikrarkan persaksian syahadat dengan lisan.

Kedua,
menjalankan shalat. Yang dimaksudkan adalah shalat lima waktu, dzuhur, asar, maghrib, isya dan subuh. Shalat selain dari yang lima waktu adalah sunnah.

Ketiga, mengeluarkan zakat.
Yaitu mengeluarkan zakat yang telah ditentukan oleh syarikat berupa harta, yaitu Onta, Kambing, Sapi, Emas, Perak, Kurma, Beras, dan anggur, yang harus dibagikan pada delapan kelompok yang berhak menerima zakat, yaitu kelompok fakir, miskin, amil, muallaf, hamba sahaya, gharim (orang yang punya hutang), sabilillah, dan anak jalanan.

Keempat,
mengerjakan puasa di bulan Ramadlan.
Ada tiga tingkatan puasa,
pertama, puasa orang awam, yaitu mengosongkan perut dari makan dan minum dan mencegah kelamin;
kedua, puasa orang khusus, yaitu selain yang dikerjakan orang awam, juga mencegah seluruh anggauta badan dari pekerjaan dosa;
ketiga, puasanya orang yang elite (khawash al-khawash),
yaitu dengan memalingkan hati dari aktivitas yang rendah dan mengekang hatinya dari selain Allah.

Kelima, naik haji bagi yang mampu secara finansial berupa ketersediaan sangu/bekal untuk dirinya maupun nafkah untuk keluarganya.

◆◆RUKUN IMAN◆◆
Arkaanul Iimaani Sittatun : An Tu’mina Billaahi , Wa Malaaikatihii , Wa Kutubihii , Wa Rusulihii , Walyaumil Aakhiri , Wabilqodari Khoyrihi Wasyarrihi Minalaahi
Ta’aalaa .

Rukun-rukun Iman itu ada 6 :
Bahwa engkau beriman dengan
Allah ,
dan para Malaikatnya ,
dan kitab-kitabnya ,
dan para Rosulnya ,
dan hari akhir ,
dan taqdir baiknya dan taqdir buruknya dari Allah Ta’ala

Syarh atau Penjelasan Kitab Safinah an-Najah
Pertama,
iman kepada Allah.
Mengimani bahwa Allah adalah Tuhan seluruh makhluk di alam semesta ini.
Dengan merenungi segala macam ciptaan dan makhluk sebagai kreasi Tuhan, maka kita akan semakin kuat imannya bahwa tidak mungkin alam semesta ini ada dengan sendirinya, pasti ada yang menciptakannya yaitu Allah.
Kita tidak boleh menyamakan atau menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, Ia tak berjasad, tak bertempat, tak beranak dan tak diperanakkan, tak dibatasi oleh ruang dan waktu.

Kedua, iman kepada utusan-Nya.
Mengimani mukjizat-mukjizat dan tanda-tanda kenabiannya. Dan meyakini bahwa Muhammad adalah utusan Allah dan nabi terakhir.

Ketiga, iman kepada para malaikat.
Meyakini bahwa malaikat adalah hamba Allah yang paling taat. Malaikat adalah makhluk yang diciptakan dari unsur cahaya yang teramat lembut, tidak memiliki jenis kelaim laki-laki atau perempuan maupun banci, tidak berayah atau beribu, tak beranak.
Dan malaikat merupakan makhluk yang diciptakan untuk membawa misi perintah Allah dengan segala jenis perintah dan pekerjaannya.

Jumlahnya tak terhitung, bahkan sebagian ulama menyatakan bahwa malaikat ada 24.523 malaikat, dan malaikat yang wajib diketahui ada sepuluh, yaitu Jibril, Mikail, Israfil, ‘Izrail, Munkar, Nakir, Ridlwan, Malik, Raqib, ‘Athid, Rumah. Dan di antara malaikat yang paling utama adalah Jibril yang bertugas membawa wahyu Tuhan.

Keempat, iman kepada kitab suci.
Ada empat kitab suci Allah yang diturunkan kepada utusan-Nya, yaitu Taurat pada Nabi Musa, Zabur pada Nabi Dawud, Injil bagi Isa, dan al-Quran bagi Nabi Muhammad. Empat kitab inilah yang wajib diyakini. Namun sejatinya kitab Allah tidak terbatas.
Bahkan para nabi-nabi yang lain seperti Adam, Idris, Nuh, dan lain-lain pun memiliki kitab suci.

Kelima, iman kepada hari akhir.
Meyakini adanya hari akhir dengan segala kejadian yang ada di dalamnya yaitu hasyr (digiring dan dikumpulkannya makhluk) di makhsyar, adanya hisab (kalkulasi amal), balasan amal (jaza’), surga dan neraka.

Keenam, iman kepada takdir.
Baik atau buruknya takdir adalah dari Allah. Namun manusia berhak memilih dan diberi kesempatan untuk berikhtiar.
Wajib ridha atas apa yang telah digariskan dan ditetapkan dalam takdir kehidupan.
Tidak boleh marah, dan harus dapat nrimo ing pandum.

●MAKNA SYAHADAT
Makna Syahadat Tauhid
Tidak ada Tuhan yang berhak, layak, dan pantas untuk disembah dan ditaati perintah dan dijauhi larangan-Nya kecuali Allah.

◆◆TANDA - TANDA BALIGH◆◆
Alaamaatul Buluughi Tsalaatsun :
Tamaamu Khomsa ‘Asyaro Sanatan Fidzdzakari Wal Untsaa ,
Wal Ihtilaamu Fidzdzakari Wal Untsaa Litis’i Siniina , Wal Haidhu Fil Untsaa Litis’i Siniina

Tanda-tanda Baligh ada 3 :
Sempurna umurnya 15 tahun pada laki-laki dan perempuan ,
dan mimpi pada laki-laki dan perempuan bagi umur 9 tahun ,
dan dapat haid pada perempuan bagi umur 9 tahun .

Syarh atau Penjelasan Kitab Safinah an-Najah
Tanda Aqil Baligh laki-laki dan perempuan
Laki-laki yang menginjak dewasa, ditandai dengan bermimpi peristiwa yang tidak pernah dialaminya di alam nyata,
seperti bersenggama dengan seorang perempuan dan dengan sebab mimpi indah tersebut mengakibatkan keluarnya sperma yang sejak kecil tersimpannya.
Dan biasanya laki-laki yang mengalami peristiwa tersebut pada usianya yang ke-15 tahun.
Jika laki-laki yang sudah berusia 15 tahun dan sudah mengeluarkan sperma (mani) maka ia termasuk laki-laki dewasa yang sudah aqil baligh dan mukallaf, yaitu seseorang yang wajib menjalankan perintah Tuhan dan menjauhi larangan-Nya.

Sedangkan perempuan yang sudah mengeluarkan darah haidl biasanya keluar pada umur 9 tahun sudah termasuk perempuan dewasa yang sudah aqil baligh dan mukallaf.
Darah haidl adalah darah yang keluar dari vagina perempuan pada usia 9 tahun ke atas, dalam kondisi sehat, tidak dengan sebab sakit,
dan tidak dengan sebab melahirkan.
Warna darah haidl adalah hitam pekat dan panas.
Sebab jika darah tersebut keluar dengan sebab sakit maka bukan lagi darah haidl melainkan darah istihadhal;
sedangkan jika dengan sebab melahirkan maka dinamakan darah nifas.

SYARAT ISTINJA
Syuruuthul Istinjaai Bilhajari Tsamaaniyatun :
An Yakuuna Bitsalaatsati Ahjaarin ,
Wa An Yunqiya Al-Mahalla ,
Wa An Laa Yajiffa An-Najisu,
Walaa Yantaqila ,
Walaa Yathroa ‘Alaihi Aakhoru ,
Walaa Yujaawiza Shofhatahu Wahasyafatahu ,
Walaa Yushiibahu Maaun , Wa An Laa Takuuna Al-Ahjaaru Thoohirotan

Syarat-syarat Istinja dengan batu itu 8 :
Bahwa adalah orang yg berisitinja itu dengan 3 batu ,
dan bahwa ia membersihkan tempat keluarnya najis ,
dan bahwa tidak kering najisnya itu ,
dan tidak berpindah najisnya itu ,
dan tidak datang atasnya oleh najis yg lain ,
dan jangan melampaui najisnya itu akan shofhahnya dan hasyafahnya , dan jangan mengenai najis itu akan ia oleh air ,
dan bahwa adalah batunya itu suci

Syarh atau Penjelasan Kitab Safinah an-Najah
Bersuci Dengan Batu
Bersuci adalah wajib bagi segala bentuk kotoran dan najis berupa air kencing, tai, darah, dan lain-lain yang keluar dari salah satu kedua jalan, dimana penyuciannya dapat menggunakan air atau menggunakan batu atau sejenis batu,
yaitu benda padat dan keras yang suci dan bukan benda yang dimulyakan menurut Islam.

Ada dua alat atau benda yang dapat digunakan untuk bersuci,
yaitu air dan batu.
Masing-masing memiliki syarat-syaratnya sendiri agar dapat digunakan sebagai alat untuk bersuci.
Di fasal (bab) ini telah diulas 8 syarat bersuci dengan menggunakan batu.
Kita boleh bersuci hanya dengan menggunakan air yang telah memenuhi syarat untuk menghilangkan najis atau kotoran.
Namun, yang lebih utama adalah menggunakan air dan batu sekaligus dalam mensucikan najis.
Caranya adalah pertama-tama dengan menggunakan batu agar dapat menghilangkan kotoran atau najisnya,
dan kemudan langkah kedua disusul dengan menggunakan air agar dapat menghilangkan sisa-sisa kotoran yang masih ada atau masih menempel di badan.
Namun sejatinya, jika hendak memilih salah satu dari air dan batu, maka yang lebih utama untuk bersuci adalah dengan menggunakan air. Meski dengan menggunakan batu juga boleh asalkan yang sesuai dengan syarat-syarat yang ditentukan tersebut.

★★★★★★★★

FARDHU WUDHU

Furuudh Al-Wudhuui Sittatun :
Al-Awwalu Anniyyatu , Ats-Tsaani Ghoslu Al-Wajhi ,
Ats-Tsaalitsu Ghoslu Al-Yadaini Ma’a Al-Mirfaqoini,
Ar-Roobi’u Mashu Syaiin Min Ar-Ro’si ,
Al-Khoomisu Ghoslu Ar-Rijlaini Ilaa Al-Ka’baini ,
As-Saadisu At-Tartiibu

Fardhu-fardhu Wudhu itu 6 :
Yang pertama Niat ,
yg kedua membasuh wajah ,
yg ketiga membasuh 2 tangan beserta 2 sikut ,
yg keempat menyapu sebagian dari kepala ,
yg kelima membasuh 2 kaki sampai 2 mata kaki ,
yg keenam tertib

Penjelasan :
Fardlu Wudlu ada Enam
Pertama, niat.
Definisi niat menurut kebahasaan adalah menyengaja (qashdu),
dan menurut istilah niat adalah menyengaja sesuatu bersamaan dengan mengejakannya.
Sebab, jika pekerjaannya diakhirkan maka dinamakan ‘azam (cita-cita), jadi bukan niat lagi.
Tempatnya niat adalah di hati.
Berarti jika niat dalam konteks wudlu,
maka niat dihadirkan dalam hati ketika mengerjakan pekerjaan bembasuh wajah sebagai pekerjaan pertama dalam wudlu.

Kalimat niat dalam wudlu yaitu
"Nawaytu al-wudlua li-raf’i al-hadatsi al-asghari lil-Lahi ta’ala"
(Aku berniat wudlu untuk menghilangkan hadats kecil, karena Allah Ta’ala).

Kedua, membasuh wajah.
Batasan wajah yang wajib dibasuh dalam wudlu adalah jika arah memanjang adalah anggauta di antara tempat tumbuhnya rambut kepala secara umum dan di bawah kedua daging geraham luar (lahyayni),
yaitu kedua tulang besar yang berada di samping bahwa wajah yang di dalam mulut merupakan tempat tumbuhnya gigi-gigi bawah. Sedangkan batasan wajah jika melebar yaitu anggauta di antara kedua telinga.

Ketiga, membasuh kedua tangan beserta sikut.
Segala sesuatu yang ada pada batasan tangan, baik berbentuk rambut, kutil, atau kuku, maka wajib dibasuh.

Keempat, membasuh sebagian kepala.
Maksudnya adalah jika kepala seseorang yang berambut,
maka sudah dianggap cukup jika membasuh sebagian rambut yang menempel di atas kepalanya.
Tapi kepala seseorang yang tidak ditumbuhi rambut, maka sebagian kulit kepalanya lah yang dibasuh. Tidak diwajibkan untuk membasuh seluruh kepala.

Kelima, membasuh kedua kaki bersama kedua mata kakinya. Maksudnya segala sesuatu yang ada pada kaki, seperti rambut, kutil, kuku, dll maka wajib dibasuh

Keenam, tartib.
Artinya mendahulukan anggauta yang harus didahulukan dan mengakhirkan anggauta yang harus didahulukan.
Tidak boleh mendahulukan anggatua yang semestinya dibasuh pada runutan akhir, dan mengakhirkan anggota yang semestinya dibasuh pertama.
Namun,
jika ada seseorang yang sedang mandi dengan menceburkan dan mekasukkan tubuhnya secara keseluruhan di sebuah lautan, danau atau sungai yang bersih, dengan niat berwudlu maka sah dan tartibnya dikira-kirakan saja.



NIAT DALAM WUDHU

Anniyyatu Qoshdu Asy-Syaii Muqtarinan Bifi’lihi .
Wa Mahalluhaa Al-Qolbu .
Wattalaffuzhu Bihaa Sunnatun .
Wa Waqtuhaa ‘Inda Ghosli Awwali Juz’in Minal wajhi .
Wattartiibu An Laa Tuqoddima ‘Udhwan ‘Alaa ‘Udhwin

Dan niat yaitu memaksudkan sesuatau berbarengan dengan perbuatannya .
Dan tempat niat adalah hati .
Dan melafazdkan dengannya adalah sunah .
Dan waktunya ketika membasuh awal bagian daripada wajah .
Dan tertib yaitu bahwa tidak didahului
satu anggota atasa anggota yg lain

Penjelasan :
Pengertian Niat dan Tartib
Definisi niat menurut kebahasaan adalah menyengaja (qashdu), dan menurut istilah niat adalah menyengaja sesuatu bersamaan dengan mengejakannya.
Sebab, jika pekerjaannya diakhirkan maka dinamakan ‘azam (cita-cita), jadi bukan niat lagi.
Tempatnya niat adalah di hati.
Berarti jika niat dalam konteks wudlu, maka niat dihadirkan dalam hati ketika mengerjakan pekerjaan bembasuh wajah sebagai pekerjaan pertama dalam wudlu.

Tartib artinya mendahulukan anggota yang harus didahulukan dan mengakhirkan anggauta yang harus didahulukan.
Tidak boleh mendahulukan anggatua yang semestinya dibasuh pada runutan akhir, dan mengakhirkan anggota yang semestinya dibasuh pertama.

Air Untuk Bersuci


AIR UNTUK BERSUCI

Walmaau Qoliilun Wa Katsiirun
Al-Qoliilu Maa Duunal Qullataini
Walkatsiiru Qullataani Fa Aktsaru.
Dan air itu yaitu sedikit dan banyak
Yang sedikit adalah air yg kurang dari 2 kullah
Dan yang banyak yaitu 2 kullah atau lebih

2 Kullah bila diukur dengan liter yaitu 216 liter kurang lebih , bila diukur wadahnya yaitu 60 cm X 60 cm x 60 cm
Air yg kurang dari 2 kullah menjadi musta’mal bila terciprat air bekas bersuci yaitu bila terciprat air basuhan yg pertama karna basuhan yg pertamalah yg wajib
Adapun bila air itu kurang dari 2 kullah maka lebih baik dicedok dengan gayung jangan dikobok
Demikianlah jawaban kami,
semoga Anda dapat memahaminya
Wallahu Yahdi Ila Showaissabil

Al-Qoliilu Yatanajjasu Biwuquu’innajaasati Fiihi Wain Lam Yataghoyyar
Dan air yg sedikit menjadi najis ia dengan kejatuhan najis padanya walaupun tidak berubah rasa , warna , dan baunya .
Walkatsiiru Laa Yatanajjasu Illaa Idzaa Taghoyyaro Tho’muhu , Aw Lawnuhu , Aw Riihuhu .
Dan air yang banyak tidaklah ia menjadi najis kecuali jika berubah rasa , atau warnanya , atau baunya
Penjelasan Makna:

Jenis Air

وعَنْ عَبدِ اللهِ بنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رسولُ الله صلى اللهُ عليه وسلم: إِذَا كَانَ المَآءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحمِلِ الخَبَثَ، وفي لَفْظٍ: لَمْ يَنْجُسْ، أَخْرَجَهُ الأَرْبَعَةُ، وَصَحَّحَهُ ابْنُ خُزَيْمَةَ والحاكمُ وابْنُ حِبَّانَ

Dari Abdullah bin Umar ra. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda
“Apabila jumlah air mencapai dua qullah, tidak membawa kotoran. Dalam lafadz lainnya, Tidak membuat najis”.

Ibnu Khuzaemah, Al-Hakim dan Ibnu HIbban menshahihkan hadits ini. Sehingga ketentuan air harus berjumlah 2 qullah bukan semata-mata ijtihad para ulama saja, melainkan datang dari ketetapan Rasulullah SAW sendiri lewat haditsnya.

Istilah qullah adalah ukuran volume air yang digunakan di masa Rasulullah SAW masih hidup. Bahkan dua abad sesudahnya, para ulama fiqih di Baghdad dan di Mesir pun sudah tidak lagi menggunakan skala ukuran qullah. Mereka menggunakan ukuran rithl yang sering diterjemahkan dengan istilah kati.

Sayangnya, ukuran rithl ini pun tidak standar, bahkan untuk beberapa negara-negara Arab sendiri. Satu rithl air buat orang Baghdad ternyata berbeda dengan ukuran satu rithl air buat orang Mesir.

Dalam banyak kitab fiqih disebutkan bahwa ukuran volume dua qulah itu adalah 500 rithl Baghdad. Tapi kalau diukur oleh orang Mesir, jumlahnya tidak seperti itu. Orang Mesir mengukur dua qullah dengan ukuran rithl mereka dan ternyata jumlahnya hanya 446 3/7 Rithl.

Orang-orang Syam mengukurnya dengan menggunakan ukuran mereka yang namanya rithl jumlahnya hanya 81 rithl. Namun demikian, mereka semua sepakat volume dua qullah itu sama, yang menyebabkan berbeda karena volume satu rithl Baghdad berbeda dengan volume satu rithl Mesir dan volume satu rithl Syam.

Para ulama kontemporer kemudian mencoba mengukurnya dengan besaran zaman sekarang.
Dan ternyata dalam ukuran masa kini kira-kira sejumlah 270 liter. Demikian disebutkan oleh Dr. Wahbah az-Zuhaili dalam Al-Fiqhul Islami Wa Adillatuhu, jilid 1/ hal.60.

Air yang kurang dari 270 liter terkasuk bukan air dua qullah jika kejatuhan najis atau benda najis, maka air menjadi najis meskipun karakter air tidak berubah baik warna, rasa dan baunya. Sedangkan air yang mencapai 270 liter atau lebih termasuk air banyak, jika kejatuhan najis maka tidak menjadi najis apabila karakter airnya tidak berubah baik warna, rasa dan bau. Namun jika mengalami perubahan baik warna, rasa atau baunya, maka menjadi air yang najis.

Persoalan air dalam suatu wadah jumlahnya kurang dari 270 liter, lalu digunakan untuk berwudhu, mandi janabah atau kemasukan air yang sudah digunakan untuk berwudhu`, maka air itu dianggap sudah musta`mal. Air itu suci secara fisik lahiriyah, tapi tidak bisa digunakan untuk bersuci . Tapi bila bukan digunakan untuk wudhu` seperti cuci tangan biasa, maka tidak dikategorikan air musta`mal.

Namun kalau kita telliti lebih dalam, ternyata pengertian musta`mal di antara fuqoha mazhab masih terdapat variasi perbedaan. Sekarang mari coba kita dalami lebih jauh dan kita cermati perbedaan pandangan para fuqaha tentang pengertian air musta’mal, atau bagaimana suatu air itu bisa sampai menjadi musta’mal:

a. Ulama Al-Hanafiyah
Air musta`mal dalam pengertian mereka adalah air yang telah digunakan untuk mengangkat hadats atau untuk qurbah. Maksudnya untuk wudhu` sunnah atau mandi sunnah. Tetapi secara lebih detail, menurut mazhab ini bahwa yang menjadi musta`mal adalah air yang membasahi tubuh saja dan bukan air yang tersisa di dalam wadah. Air itu langsung memiliki hukum musta`mal saat dia menetes dari tubuh sebagai sisa wudhu` atau mandi.

Sedangkan air yang di dalam wadah tidak menjadi musta`mal. Bagi mereka, air musta`mal ini hukumnya suci tapi tidak bisa mensucikan. Artinya air itu suci tidak najis, tapi tidak bisa digunakan lagi untuk wudhu` atau mandi.
Keterangan seperti ini bisa kita lihat pada kitab Al-Badai` jilid 1 hal. 69 dan seterusnya, juga Ad-Dur Al-Mukhtar jilid 1 hal. 182-186, juga Fathul Qadir 58/1,61.

b. Ulama Al-Malikiyah
Air musta`mal dalam pengertian mereka adalah air yang telah digunakan untuk mengangkat hadats baik wudhu` atau mandi. Dan tidak dibedakan apakah wudhu` atau mandi itu wajib atau sunnah. Juga yang telah digunakan untuk menghilangkan khabats .
Dan sebagaimana Al-Hanafiyah, mereka pun mengatakan bahwa yang musta`mal hanyalah air bekas wudhu atau mandi yang menetes dari tubuh seseorang. Namun yang membedakan adalah bahwa air musta`mal dalam pendapat mereka itu suci dan mensucikan. Artinya, bisa dan syah digunakan untuk mencuci najis atau wadah. Air ini boleh digunakan lagi untuk berwudhu` atau mandi sunnah selama ada air yang lainnya meski dengan karahah.

Keterangan ini bisa kita dapati manakala kita membukan kitab As-Syahru As-Shaghir 37/1-40, As-Syarhul Kabir ma`a Ad-Dasuqi 41/1-43, Al-Qawanin Al-Fiqhiyah hal. 31, Bidayatul Mujtahid 1 hal 26 dan sesudahnya.

c. Ulama Asy-Syafi`iyyah
Air musta`mal dalam pengertian mereka adalah air sedikit yang telah digunakan untuk mengangkat hadats dalam fardhu taharah dari hadats. Air itu menjadi musta`mal apabila jumlahnya sedikit yang diciduk dengan niat untuk wudhu` atau mandi meski untuk untuk mencuci tangan yang merupakan bagian dari sunnah wudhu`.

Namun bila niatnya hanya untuk menciduknya yang tidak berkaitan dengan wudhu`, maka belum lagi dianggap musta`mal. Termasuk dalam air musta`mal adalah air mandi baik mandinya orang yang masuk Islam atau mandinya mayit atau mandinya orang yang sembuh dari gila. Dan air itu baru dikatakan musta`mal kalau sudah lepas/ menetes dari tubuh.
Air musta`mal dalam mazhab ini hukumnya tidak bisa digunakan untuk berwudhu` atau untuk mandi atau untuk mencuci najis. Karena statusnya suci tapi tidak mensucikan. Silahkan lihat pada kitab Mughni Al-Muhtaj 1/20 dan Al-Muhazzab jilid 5.

d. Ulama Al-Hanabilah
Air musta`mal dalam pengertian mereka adalah air yang telah digunakan untuk bersuci dari hadats kecil atau hadats besar atau untuk menghilangkan najis pada pencucian yang terakhir dari 7 kali pencucian. Dan untuk itu air tidak mengalami perubahan baik warna, rasa maupun aromanya.
Selain itu air bekas memandikan mayit pun termasuk air musta`mal. Namun bila air itu digunakan untuk mencuci atau membasuh sesautu yang di luar kerangka ibadah, maka tidak dikatakan air musta`mal. Seperti membasuh muka yang bukan dalam rangkaian wudhu`. Atau mencuci tangan yang bukan dalam kaitan wudhu`.
Dan selama air itu sedang digunakan untuk berwudhu` atau mandi, maka belum dikatakan musta`mal. Hukum musta`mal baru jatuh bila seseorang sudah selesai menggunakan air itu untuk wudhu` atau mandi, lalu melakukan pekerjaan lainnya dan datang lagi untuk wudhu`/ mandi lagi dengan air yang sama. Barulah saat itu dikatakan bahwa air itu musta`mal. Mazhab ini juga mengatakan bahwa bila ada sedikit tetesan air musta`mal yang jatuh ke dalam air yang jumlahnya kurang dari 2 qullah, maka tidak mengakibatkan air itu menjadi `tertular` kemusta`malannya.
Air ada dua Macam; air yang sedikit (ma’ al-qalil) dan air banyak (ma’ al-katsir). Air sedikit batasannya adalah air yang kurang dari dua qullah. Sedangkan air yang tergolong banyak adalah air yang mencapai dua qullah atau lebih.
Istilah qullah adalah ukuran volume air, memang asing buat telinga kita. Sebab ukuran ini tidak lazim digunakan di zaman sekarang ini. Kita menggunakan ukuran volume benda cair dengan liter, meter kubik atau barrel.
Ukuran jumlah air dua qullah sesungguhnya bersumber dari hadits nabawi.

◆◆

◆SEBAB WAJIBNYA MANDI◆

Muujibaatul Ghusli Sittatun :
Lilaajul Hasyafati Fil Farji ,
Wakhuruujul Maniyyi ,
Wal Haidhu ,
Wannifaasu ,
Wal Wilaadatu ,
Wal Mautu

Segala yg mewajibkan mandi ada 6 :
Memasukkan Hasyafah pada Farji ,
dan keluar mani ,
dan haidh ,
dan nifas ,
dan wiladah ,
dan mati

Penjelasan :
Perkara yang Mewajibkan Mandi ada Enam

Pertama,
Memasukkan penis (alat kelamin laki-laki) ke farji (vagina).
Hal ini yang diwajibkan mandi adalah kedua belah pihak,
laki-laki dan perempuan yang melakukannya.

Kedua,
Keluar Mani (Seperma).
Baik keluarnya dengan sebab bermimpi dalam keadaan tidur atau keluar dalam keadaan terjaga, tetap mewajibkan mandi.
Begitu pun keluar mani tidak disengaja atau disengaja, tetapi wajib mandi.
Ciri-ciri air mani (seperma) yaitu
1). Baunya bagaikan adonan roti atau seperti manggar kurma,
2). Warnanya bagaikan warna putih telur,
3). Keluar dengan menyemburat (muncrat),
4). Keluarnya terasa nikmat dan enak.

Ketiga, haidl.
Dara haidl adalah darah yang keluar dalam kondisi perempuan sehat, tidak dalam keadaan setelah melahirkan,
warna darahnya merah pekat, dan panas.

Keempat, Nifas.
Darah yang keluar setelah atau bersamaan dengan melahirkannya anak.

Kelima, Melahirkan.

Keenam, Kematian.
Dengan dua syarat,
1). Orang Islam dan
2). Bukan mati syahid.

Jika orang kafir atau orang yang mati syahid maka tidak wajib atau tidak boleh memandikannya.

◆◆☆

FARDHU MANDI
فررض الغسل اثنان : النية والتعميم البدن بالماء

Furuudhul Ghusli Itsnaani : Anniyyatu ,
Wata’miimul Badani Bil Maa’i .
Fardhu-fardhu mandi 2 :
Niat , dan meratakan badan dengan air .
Penjelasan Makna:

Pertama, niat.
Kedua, meratakan air ke seluruh anggauta badan dari ujung rambut sampai ujung kaki. Jika mandi jinabah, maka seluruh lubang dan lempitan yang ada pada anggota badan maka wajib terkena air secara merata.

◆◆◆

SYARAT WUDHU
Syuruuthul Wudhuui ‘Asyarotun : Al-Islamu , Wattamyiizu , Wannaqoou ‘Anil Haidhi Wannifaasi Wa’an Maa Yamna’u Wushuulal Maai Ilal Basyaroti , Wa An Laa Yakuuna ‘Alal ‘Udhwi Maa Yughoyyirul Maa-a , Wal’ilmu Bifardhiyyatihi , Wa An Laa Ya’taqida Fardhon Min Furuudhihi Sunnatan , Wal Maau Ath-Thohuuru , Wadukhuulul Waqti , Wal Muwaalatu Lidaaimil Hadatsi .
Syarat-syarat Wudhu yaitu 10 : Islam ,Tamyiz , dan suci dari haid dan nifas dan dari sesuatu yg mencegah sampainya air kepada kulit , dan bahwa tidak ada atas anggota oleh sesuatu yg mengubah air , dan mengetahui dengan segala fardhunya , dan bahwa ia tidak mengi’tiqodkan akan fardhu daripada fardhu-fardhunya sebagai sunat , dan air yg suci , dan masuk waktu , dan berturut-turut bagi orang yg senantiasa berhadas .
Penjelasan Makna :
Syarta Wudlu ada 10;
Pertama, Islam. Mengecualikan Non-Islam.
Kedua, tamyiz (pinter). Seseorang yang dapat membedakan hal dan bathil, benar dan salah. Sedangkan anak kecil dan orang gila tidak termasuk golongan orang yang tamyiz, sebab tidak bisa membedakan antara benar dan salah.
Ketiga, bersih dari haidl dan nifas. Jelas, sebab wudlu biasanya bertujuan untuk mendirikan shalat. Sedangkan orang yang haidl dan nifas tidak boleh melakukan shalat atau ibadah seperti berwudlu.
Keempat, bersih dari segala sesuatu yang dapat menghalangi sampainya air pada kulit tubuh manusia. Seperti cat atau mangsi yang menempel di kulit seseorang yang dapat menghalangi sampainya air ke kulit seseorang dapat membatalkan wudlu alias wudlunya tidak sah.
Kelima, tidak ada perkara yang menempel di badan yang dapat merubah karakter air. Jika ada perkara yang menempel di tangan, misalkan, yang dapat merubah karakter air, seperti warna, bau dan rasanya, maka akan dapat membatalkan wudlu seseorang.
Keenam, mengetahui ke-fardluan-nya wudlu.
Ketujuh, tidak menyakini ke-fardluan sebagai ibadah sunnah
Kedelapan, menggunakan air suci dan mensucikan. Artinya air yang suci dan bukan air najis serta bukan air yang sudah digunakan bersuci (musta’mal).
Kesembilan, masuk waktu.
Kesepuluh, muallah (tartib atau runut) cara membasuh di antara anggota wudlu bagi orang yang memiliki hadats permanen (daim al-hadats) seperti perempuan yang sedang menegluarkan darah istihadlhah yang disebut dengan mustahadhlah.

◆◆◆◆
PEMBATAL WUDHU

نواقض الوضوء اربعةاشياء
اﻻول الخارج من احدالسبلين من قبل او دبر ريخ او غيره اﻻالمنى
الثانى زوال العقل بنوم او غيره اﻻ نوم قاعد ممكن مقعده من اﻻرض
اثالث التقاء بشرتي رجل وامراة كبرين اجنبيين من غير حائل
الرابع مس قبل اﻵدمى او حلقة دبره ببطن الراحة او بطون اﻻصابع

Nawaaqidul Wudluui Arba’atu Asyyaa-a :
Al-Awwalu Al-Khooriju Min Ihdassabilaini Minal Qubuli Wadduuri Riihun Aw Ghoyruhu Illal Maniyya ,
Ats-Tsaani Zawaalul ‘Aqli Binaumin Aw Ghoyrihi Illaa Nauma Qoo’idin Mumakkanin Maq’adahu Minal Ardhi ,
Ats-Tsaalitsu Iltiqoou Basyarotai Rojulin Wamroatin Kabiiroini Ajnabiyyaini Min Ghoyri Haailin ,
Ar-Roobi’u Massu Qubulil Aadamiyyi Aw Halqoti Duburihi Bibathnil Kaffi Aw Buthuunil Ashoobi’i .

Segala yg membatalkan wudhu yaitu 4 perkara :
Pertama yang keluar daripada salah satu dari 2 jalan daripada kubul dan dubur angin atau selainnya kecuali air mani ,

kedua hilang akal dengan sebab tidur atau selainnya kecuali tidurnya orang yg duduk yg menetapkan punggungnya daripada bumi ,

Ketiga bertemunya 2 kulit laki-laki dan perempuan besar keduanya orang lain keduanya dari tanpa dinding ,

keempat menyentuh kubul manusia atau bulatan duburnya dengan telapak tangan atau perut jari-jari

Penjelasan Makna:
Sesuatu yang Merusak Keabsahan Wudlu ada Empat;

Pertama, sesuatu yang keluar dari salah satu dua jalan (alat kelamin depan dan pantat), seperti kentut, tai, dan yang lainnya, atau bahkan sesuatu yang boleh dibilang suci dan tidak biasa dikeluarkan dari kedua jalan tersebut seperti kerikil dan ulat, kecuali mani.

Kedua, Hilangnya akal, karena salah satu dari dua faktor yaitu;
1). Kegilaan (junun), dengan sebab sakit atau mabuk;
2). Tidur, kecuali tidurnya pada saat duduk dan pantannya diletakkan secara langsung pada lantai yang sekiranya tidak memungkinkan adanya renggangan atau cela keluarnya kentut.
Pengecualian lagi juga adalah tidurnya para Nabi.
Karena dalam sebuah hadits dinyatakan; "Hanya mata kami saja yang tidur. Sementara hati kami tidak pernah tidur".
As-Syekh Muhammad ‘Ali bin Husein al-Makky al-Maliki dalam kitab Inarah ad-Duja, yang men-syarahi kitab Safinah an-Najah mendefinisikan tidur (naum) adalah angin lembut semilir menerpa dan menguasai otak, kemudian menutupi mata dan hati.
Jika angin semilir lembut itu belum sampai pada hati seseorang, baru sampai pada otak dan mata, maka orang tersebut pasti terserang kantuk (nu’as).

Ketiga, bersentuhannya kulit laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, tanpa adanya penghalang.
Pengecualian yaitu kulitnya anak kecil yang belum baligh dan tidak dapat mengundang syahwat. Sedangkan yang definisi mahram adalah seseorang yang menurut syariah haram dinikahi dengan sebab adanya hubungan tali nasab, seperti anak, saudara kandung, kedua orang tua, kakek dan nenek, paman, atau dengan sebab radla’.

Keempat, menyentuh alat kelamin dengan telapak tangan atau jari-jari bagian dalam.

LARANGAN BAGI YANG BATAL WUDHU DAN JUNUB

Man Intaqodho wudhuu-uhu Haruma ‘Alaihi ‘Arba’atu Asyyaaa : Ash-Sholaatu , Wath-Thowaafu , Wamassul Mush-hafi , Wahamluhu . Wayahrumu ‘Alal Junubi Sittatu Asyyaa-a : Ash-Sholaatu , Wath-Thowaafu , Wamassul Mush-hafi , Wahamluhu , Wallubtsu Fil Masjidi , Waqirooatul Qur-aani Biqoshdil Qur-aani. Wayahrumu Bilhaidhi ‘Asyarotu Asyyaa-a : Ash-Sholaatu , Wath-Thowaafu , Wamassul Mush-hafi , Wahamluhu , Wallubtsu Fil Masjidi , Waqirooatul Qur-aani Biqoshdil Qur-aani , Wash-Shoumu , Wath-Tholaaqu , Walmuruuru Fil Masjidi In Khoofat Talwiitsahu , Wal Istimnaa’u Bimaa Bainassurroti Warrukbati
Orang yangg batal wudhunya haram atasnya 4 perkara : Sholat , dan Thowaf , dan menyentuh AlQur-an , dan membawanya .
Dan haram atas orang yg junub 6 perkara : Sholat , dan Thowaf , dan menyentuh Al-Quran , dan membawanya , dan berdiam diri di Masjid , dan membaca AlQur-an dengan maksud baca AlQur-an. Dan haram dengan sebab haid 10 perkara : Sholat , dan Thowaf , dan menyentuh AlQur-an , dan membawanya , dan berdiam diri di Masjid , dan membaca AlQur-an dengan qoshod Qur-an , dan puasa , dan talak , dan
berjalan di dalam Masjid jika ia takut menyamarkannya , dan bersedap-sedap(bersenang-senang) dengan sesuatu yg antara pusat dan lutut

Penjelasan Makna:
Ada Empat Pekerjaan yang Dilarangan bagi Orang yang Berhadats
Pertama, Shalat. Baik shalat fardlu yang lima waktu, yaitu dzuhur, asar, maghrib, isya, dan subuh, ataupun shalat sunah dan shalat Janazah, bagi orang yang memiliki hadats tidak boleh melakukannya. Sebab Nabi berkata, "Allah tidak akan menerima sholat salah satu dari kalian ketika berhadats, sampai ia berwudlu terlebih dahulu".
Kedua, Thawaf. Baik thawaf fardlu atau pun thawaf sunnah seperti thawaf qudhum, thawaf ifadhah, dan yang lainnya.
Ketiga, Memegang mushaf; yang dimaksud dengan mushaf adalah segala sesuatu yang di dalamnya terdapat tulisan al-Quran, baik sebagian atau sepenggal ayat-ayat dari al-Quran, yang ditulis karena untuk dipelajari dan dibaca. Meski ayat-ayat itu ditulis pada media yang berupa papan tulis, kulit, atau kertas, atau tulang belulang, maka tetap dapat dikatakan sebagai mushaf.
Pengecualian dari pengertian mushaf yang tidak boleh disentuh oleh orang yang berhadats yaitu ayat-ayat al-Quran yang bertujuan dijadikan Jimat (at-tamimah). Sebab Jimat yang dari ayat-ayat al-Quran pada saat ditulis bertujuan tidak untuk dibaca atau dipelajar, melainkan bertujuan untuk ngalap berkah (tabarruk).
Keempat, membawa mushaf. Yang dimaksudkan adalah hanya membawa mushaf, tanpa disertai dengan membawa beda atau sesuatu yang berbentuk materiil, seperti pakaian, perabotan, atau koper. Sehingga jika seseorang yang berhadats membawa al-Quran di dalam koper bersama dengan barang-barang bawaan lainnya, seperti buku, pakean, dll., maka tidak dipersoalkan alias boleh.
Seluruh umat Islam wajib menghargai dan menghormati keagungan al-Quran. Tidak boleh melecehkan atau menghinanya.

Ada Enam Larangan bagi Orang yang Junub;

Pertama, Shalat. Baik shalat fardlu yang lima waktu, yaitu dzuhur, asar, maghrib, isya, dan subuh, ataupun shalat sunah dan shalat Janazah, bagi orang yang memiliki hadats tidak boleh melakukannya. Sebab Nabi berkata, "Allah tidak akan menerima sholat salah satu dari kalian ketika berhadats, sampai ia berwudlu terlebih dahulu".

Kedua, Thawaf. Baik thawaf fardlu atau pun thawaf sunnah seperti thawaf qudhum, thawaf ifadhah, dan yang lainnya.

Ketiga, memegang Mushaf Ketiga, Memegang mushaf; yang dimaksud dengan mushaf adalah segala sesuatu yang di dalamnya terdapat tulisan al-Quran, baik sebagian atau sepenggal ayat-ayat dari al-Quran, yang ditulis karena untuk dipelajari dan dibaca. Meski ayat-ayat itu ditulis pada media yang berupa papan tulis, kulit, atau kertas, atau tulang belulang, maka tetap dapat dikatakan sebagai mushaf.
Pengecualian dari pengertian mushaf yang tidak boleh disentuh oleh orang yang berhadats yaitu ayat-ayat al-Quran yang bertujuan dijadikan Jimat (at-tamimah). Sebab Jimat yang dari ayat-ayat al-Quran pada saat ditulis bertujuan tidak untuk dibaca atau dipelajar, melainkan bertujuan untuk ngalap berkah (tabarruk).

Keempat, membawa mushaf. Yang dimaksudkan adalah hanya membawa mushaf, tanpa disertai dengan membawa beda atau sesuatu yang berbentuk materiil, seperti pakaian, perabotan, atau koper. Sehingga jika seseorang yang berhadats membawa al-Quran di dalam koper bersama dengan barang-barang bawaan lainnya, seperti buku, pakean, dll., maka tidak dipersoalkan alias boleh.
Seluruh umat Islam wajib menghargai dan menghormati keagungan al-Quran. Tidak boleh melecehkan atau menghinanya.

Kelima, berdiam diri di masjid atau mondar-mandir di dalam masjid. Karena Nabi berkata "Aku melarang perempuan haidl dan orang junub mendatangi masjid", diriwayatkan oleh Abu Dawud dari ‘Aisah Ra.

Keenam, Membaca quran. Artinya melafadzkan dengan lisan baik satu ayat atau lebih. Dengan demikian, orang yang berhadats diperbolehkan mengingat ayat-ayat al-Quran di dalam hati dengan tanpa melafadzkannya dengan lisan. Orang yang berhadats juga diperbolehkan melihat fisik al-Quran. Dan ulama bersepakat bahwa bagi perempuan haidl dan orang yang berhadats membaca tahlil, tasbih, tahmidl, takbir, shalawat kepada nabi dan dzikir-dzikir yang lainnya.

Ada Sepuluh Larangan Bagi Orang yang Haidl
Pertama, Shalat. Baik shalat yang lima waktu, yaitu dzuhur, asar, maghrib, isya, dan subuh, ataupun shalat sunah dan shalat Janazah, bagi orang yang memiliki hadats tidak boleh melakukannya. Sebab Nabi berkata, "Allah tidak akan menerima sholat salah satu dari kalian ketika berhadats, sampai ia berwudlu terlebih dahulu".

Kedua, Thawaf. Baik thawaf fardlu atau pun thawaf sunnah seperti thawaf qudhum, thawaf ifadhah, dan yang lainnya.

Ketiga, Memegang mushaf; yang dimaksud dengan mushaf adalah segala sesuatu yang di dalamnya terdapat tulisan al-Quran, baik sebagian atau sepenggal ayat-ayat dari al-Quran, yang ditulis karena untuk dipelajari dan dibaca. Meski ayat-ayat itu ditulis pada media yang berupa papan tulis, kulit, atau kertas, atau tulang belulang, maka tetap dapat dikatakan sebagai mushaf.
Pengecualian dari pengertian mushaf yang tidak boleh disentuh oleh orang yang berhadats yaitu ayat-ayat al-Quran yang bertujuan dijadikan Jimat (at-tamimah). Sebab Jimat yang dari ayat-ayat al-Quran pada saat ditulis bertujuan tidak untuk dibaca atau dipelajar, melainkan bertujuan untuk ngalap berkah (tabarruk).

Keempat, membawa mushaf. Yang dimaksudkan adalah hanya membawa mushaf, tanpa disertai dengan membawa beda atau sesuatu yang berbentuk materiil, seperti pakaian, perabotan, atau koper. Sehingga jika perempuan haidl (haidl) membawa al-Quran di dalam koper bersama dengan barang-barang bawaan lainnya, seperti buku, pakean, dll., maka tidak dipersoalkan alias boleh.
Seluruh umat Islam wajib menghargai dan menghormati keagungan al-Quran. Tidak boleh melecehkan atau menghinanya.

Kelima, Membaca quran. Artinya melafadzkan dengan lisan baik satu ayat atau lebih. Dengan demikian, perempuan yang haidl diperbolehkan mengingat ayat-ayat al-Quran di dalam hati dengan tanpa melafadzkannya dengan lisan. Ia juga diperbolehkan melihat fisik al-Quran. Dan ulama bersepakat bahwa diperbolehkan bagi perempuan haidl dan orang yang berhadats membaca tahlil, tasbih, tahmidl, takbir, shalawat kepada nabi dan dzikir-dzikir yang lainnya.

Keenam, Puasa. Jika ada seorang perempuan yang seharian tidak makan dan minum, dengan tanpa dimotivasi oleh niat ibadah puasa atau lebih dikarenakan kemiskinan yang melilitnya, maka tidak diharamkan baginya melakukan pengosongan perut dari makan dan minum. Karena apa yang dikerjakannya bukan merupakan ibadah puasa yang telah diharamkan bagi perempuan haidl.

Ketujuh, Thalak.

kedepan, berdiam diri di masjid

Kesembilan, mondar-mandir di dalam masjid. Sebab ditakutkan darahnya akan menetes di masjid. Nabi berkata "Aku melarang perempuan haidl dan orang junub mendatangi masjid", diriwayatkan oleh Abu Dawud dari ‘Aisah Ra.

Kesepuluh, melakukan ativitas seksual di seputar anggota badan di antara pusar dan lutut. Atau dengan kata lain bersenggama dengan suaminya, baik ada syahwat atau tidak, baik ada hail (baju) yang membungkus tubuhnya atau tidak ada sehelai benangpun yang menutupi tubuhnya tetap dilarang.

Sebab Tayamum



SEBAB TAYAMUM

Asbaabuttayammumi Tsalaatsatun :
Faqdul Maa-i ,
Walmarodhu ,
Wal Ihtiyaaju Ilaihi Li’athosyi Hayawaanin Muhtaromin , Waghoyrul Muhtaromi Sittatun :
Taarikush-Sholaati ,
Wazzaanil Muhshonu ,
Walmurtaddu , Walkaafirul Harbiyyu , Walkalbul ‘Aquuru , Walkhinziiru

Sebab-sebab tayammum itu ada3 :
Ketiadaan air ,
dan sakit ,
dan berhajat kepadanya untuk minum binatang yg dimulyakan

Dan selain yg dihormati yaitu 6 :
Orang yg meninggalkan sholat ,
dan pezina muhshon ,
dan orang yg murtad ,
dan kafir harbi ,
dan anjing galak,
dan babi

Penjelasan :
Tiga Sebab Diperbolehkannya Bertayamum;

Pertama, tidak ada air.
Artinya di daerah sekitar tempat tinggalnya tidak ada air sama sekali.
Atau ada air, tapi jaraknya teramat jauh, sehingga jika menuju tempat air tersebut sangat menyusahkan diri.
Atau jika berjalan menuju tempat air,
ditakutkan harta bendanya hilang, meskipun sedikit, atau di perjalanan cukup rawan sehingga dikhawatirkan mengancam keselamatan jiwa dan raganya.
Demikian juga tidak ada air pada saat di perjalanan.

Kedua, sakit.
Orang yang sakit diperbolehkan bertayammum dengan terlebih dahulu melihat dan mempertimbangkan penyakit yang dideritanya.
Jika penyakit yang diderita berupa penyakit fisik yang ketika tersentuh air, maka penyakitnya bertambah parah atau sembuhnya lambat, maka seseorang yang diderita penyakit semacam itu baru diperbolehkan untuk tayammum.

Akan tetapi jika sebaliknya, penyakitnya tidak semakin parah atau lambat proses penyembuhannya ketika tersentuh air, maka tidak boleh bertanyammum.
Hal ini hanya dapat dipastika oleh pertimbangan dokter yang dapat diyakini keputusan dan hasil diagnosanya yang cukup falid atas penyakitnya.
Namun jika tidak ada dokter, maka yang menjadi pertimbangan adalah eksperimentasi atau kebiasaan yang terjadi berkaitan dengan jenis penyakitnya.
Jika pada kebiasanya jenis penyakit yang jika tersentuh air maka akan bertambah parah atau lambat proses penyembuhannya maka seseorang yang sakit boleh melakukan tayamum.
Tapi jika sebaliknya maka tidak boleh.

Ketiga, butuh air karena demi menolong hewan yang dimuliakan yang sedang kehausan yang betul-betul butuh pertolongan. Artinya jika seseorang menemukan air yang sangat terbatas kadarnya, di satu sisi ia butuh untuk berwudlu, dan di sisi lain pada saat yang sama ada hewan yang dimuliakan sedang kehausan dan sangat butuh seteguk air untuk menghilangkan rasa hausnya itu, maka ia harus memberikan air tersebut pada hewan yang membutuhkan demi menyelamatkan nyawanya. Sementara ia sendiri harus bertayammum.

Hewan yang dimuliakan adalah hewan yang haram dibunuh. Sedangkan sekitar ada enam hewan yang tidak dimuliakan menurut fikih klasik, yaitu orang yang tidak menjalankan sholat lima waktu, zina muhson, murtadl, kafir harbi (musuh yang memerangi umat Islam), anjing yang galak dan babi.

Termasuk orang yang harus dimuliakan dan dijaga eksistensinya adalah orang kafir yang berdamai dengan umat Islam, yang diistilahkan dengan kafir dzimmy.

Sekurang-kurangnya ada dua macam kafir,
yaitu pertama kafir dzimmi dan kafir mu’ahad.
Kafir dzimmi adalah umat non-Islam yang berdamai dengan umat Islam dalam satu payung hukum negara.
Sedangkan kafir mu’ahad adalah umat non-Islam yang mengadakan perjanjian dengan umat Islam untuk hidup rukun dan damai.

Termasuk hewan yang dimuliakan dan tidak boleh dibunuh adalah anjing yang bermanfaat dan tidak galak pada umat manusia.
Ada banyak ajing yang dapat digunakan dengan baik dan bermanfaat bagi manusia, seperti anjing yang dapat digunakan beburu, menjaga rumah atau gudang, menjaga pasar, dll., maka tidak boleh dibunuh.

SYARAT TAYAMUM

Syuruuthu At-Tayammumi ‘Asyarotun :
An Yakuuna Bituroobin , Wa An Yakuunatturoobu Thoohiron , Wa An Laa Yakuuna Musta’malan ,
Wa An Laa Yukhoolithuhu Daqiiqun Wanahwuhu ,
Wa An Yaqshidahu ,
Wa An Yamsaha Wajhahu Wayadaihi Bidorbataini ,
Wa An Yuziilannajaasata Awwalan ,
Wa An Yajtahida Fil Qiblati Qoblahu , Wa An Yakuunattayammumu Ba’da Dukhuulil Waqti , Wa An Yatayammama Likulli Fardhin .

Syarat-syarat tayammum itu ada10 :
Bahwa adalah ia bertayammum dengan debu ,
dan bahwa adalah debunya itu suci ,
dan bahwa tidak adalah debunya itu musta’mal ,
dan bahwa tidak bercampur debunya itu oleh tepung ,
dan bahwa ia sengaja bertayammum ,
dan bahwa ia menyapu mukanya dan dua tangannya dengan 2 kali ,
dan bahwa ia menghilangkan najis pada permulaannya ,
dan bahwa ia berijtihad pada kiblat sebelumnya tayammum , dan bahwa adalah tayammumnya itu setelah masuk.

Penjelasan :
Sepuluh Syarat Bagi Sahnya Tayammum;

Pertama, dengan debu.
Yang dimaksudkan adalah debu yang murni tanpa terkontaminasi dan tercampur oleh apapun.

Kedua, debu yang suci.
Sebagaimana firman Allah ta’ala;
"Fatayammamu sha’idan thayyiban"
(maka bertayammumlah kalian dengan debu yang suci).

Ketiga, debu yang tidak musta’mal.
Artinya debu yang sudah dipakai bertanyammum seseorang maka tidak boleh digunakan kembali oleh orang lain.

Keempat, debu tidak tercampur dengan tepung atau kapur atau sejenisnya.

Kelima, niat.
Tempatnya niat adalah di hati. Dihadirkan pada saat pertama kali mengusapkan demi ke anggota yang pertama wajib dibasuh dengan debu, yaitu wajah.

Keenam, mengusapkan debu pada wajah dan dua tangan dengan dua kali usapan.
Maksudnya adalah mengusapkan debu pada wajah dengan menggunakan satu pengambilan debu. Disusul dengan mengusapkan debu pada tangan dengan menggunakan debu dalam pengambilan yang kedua. Dengan demikian, tidak diperbolehkan atau tidak sah jika satu kali pengambilan debu untuk mengusap wajah dan tangan sekaligus.

Ketujuh, terlebih dahulu menghilangkan najis yang menempel di badan.
Orang yang hendak bertayammum terlebih dahulu harus menghilangkan najis yang ada pada badanya, meski pun bukan anggota tayammum seperti alat kelamin, vagina, dll.. juga harus menghilangkan najis dari baju dan tempatnya seseorang. Berbeda dengan wudlu’.
Sebab jika wudlu bertujuan untuk menghilangkan hadats. Sedangkan tayammum bertujum agar diperbolehkannya mengerjakan shalat (li-istibahat as-shalat).

Menurut sebagian ulama,
seperti Imam ar-Ramli, mengatakan bahwa seseorang yang bertayamum sebelum menghilangkan najis, maka tayammumnya tidak sah.
Sedangkan menurut Imam Ibnu Hajar sebaliknya berpendapat sah.

Kedelapan,
Bersungguh-sungguh menghadap kiblat sebelum melakukan tayamum.
Namun ternyata syarat ini adalah syarat yang oleh sebagian ulama dianggap sebagai syarat yang lemah.
Dengan kata lain, jika seseorang telah melakukan tayammum sebelum bersungguh-sungguh (ijtihad) menghadap kiblat maka sudah dianggap sah.

Kesembilan,
Tayamum dilakukan setelah masuk waktu sholat. Dikarenakan tayamum adalah bersuci dalam kondisi darurat, dan tidak ada darurat sebelum masuk wakti sholat, maka tayamum baru dianggap sah setelah masuk waktu.

Kesepuluh, Tayamum dilaksanakan karena hendak melakukan setiap perkara fardlu. Artinya bahwa satu tayamum tidak sah untuk dua kali pekerjaan fardlu, seperti dua shalat fardlu dzuhur dan asar.
Sehingga setiap hendak mengerjakan perkara fardlu maka harus bertayamum dengan satu kali, dan perkara fardlu berikutnya pun harus mengerjakan tayamum untuk kedua kalinya.

FARDU TAYAMUM
Furuudhuttayammumi Khomsatun :
Al-Awwalu Naqlutturoobi,
Ats-Tsaani Anniyyatu ,
Ats-Tsaalitsu Mashul Wajhi,
Ar-Roobi’u Mashul Yadaini Ilal Mirfaqoini Al-Khoomisu At-Tartiibu Bainal Mashataini

Fardhu-fardhu tayammum itu ada 5 :
Yang pertama memindahkan debu ,
yang kedua niat,
yang ketiga, menyapu wajah,
yang keempat, menyapu 2 tangan sampai 2 sikut ,
yang kelima tertib di antara 2 sapuan.

Penjelasan Makna:
Fardu Tayammum ada 5
Pertama, memindahkan debu yang suci dari wajah ke tangan dan seterusnya.

Kedua, niat tayamum.
Dengan berniat li-istibahat as-shalat (diperbolehkannya mengerjakan ibadah shalat).
Jika hendak mengerjakan shalat fardlu, maka berniat li-istibahat fardl as-shalat (diperbolehkannya mengerjakan shalat fardlu).

Ketiga, membasuh wajah. Namun tidak diwajibkan debu tersebut memasuki celah-celah rambut yang ada di wajah sebagaimana air wudlu.
Bahkan tidak dianggap sunnah.

Keempat, mengusap debu yang suci pada kedua tangan sampai kedua sikutnya.

Kelima, tartib di antara kedua usapan.
Artinya harus mendahulukan usapan pada anggota yang harus didahulukan dan mengakhirkan usapan pada anggota yang harus diakhirkan.

Fardu Tayammum ada 5;

Pertama,
memindahkan debu yang suci dari wajah ke tangan dan seterusnya.

Kedua, niat tayamum.
Dengan berniat li-istibahat as-shalat
(diperbolehkannya mengerjakan ibadah shalat).
Jika hendak mengerjakan shalat fardlu,
maka berniat li-istibahat fardl as-shalat (diperbolehkannya mengerjakan shalat fardlu).

Ketiga, membasuh wajah.
Namun tidak diwajibkan debu tersebut memasuki celah-celah rambut yang ada di wajah sebagaimana air wudlu. Bahkan tidak dianggap sunnah.

Keempat, mengusap debu yang suci pada kedua tangan sampai kedua sikutnya.

Kelima, tartib di antara kedua usapan. Artinya harus mendahulukan usapan pada anggota yang harus didahulukan dan mengakhirkan usapan pada anggota yang harus diakhirkan.

PEMBATAL TAYAMUM

PEMBATAL TAYAMUM
Mubthilaatuttayammumi Tsalatsatun:
Maa Abtholal Wudhuu-a,
Warriddatu,
Watawahhumul Maa-i In Yatayammama Lifaqdihi

Segala yangg membatalkan tayammum itu ada3 :
Apa-apa yg membatalkan wudhu ,
dan murtad,
dan menyangka ia akan ada air jika ia bertayammum karena ketiadaan air .

Penjelasan Makna:
Ada Tiga Sesuatu yang Dapat Membatalkan Tayamum;

Pertama, Segala sesuatu yang bisa membatalkan wudlu dapat membatalkan tayamum. Secara rinci bisa dilihat pada pembahasan tentang sesuatu yang dapat membatalkan wudlu.

Kedua, Murtadl.
Jika seseorang yang mendadak mengeluarkan kalimat yang mengarah pada kemurtadlan di tengah-tengah atau setelah mengerjakan tayamum, maka seketika itu pula tayamumnya batal.

Ketiga, Menyangka adanya air.
Maksudnya adalah bahwa jika seseorang melihat fatamorgana yang berada mengapung di atas jalanan disangka itu adalah air, atau melihat segolongan rombongan yang sedang berjalan dan dikira membawa air, atau ada mendung tipis menggelayut di atas langit yang diduga akan menjatuhkan air hujan, maka dapat membatalkan tayamum.

NAJIS YANG BISA JADI SUCI

Alladzii Yathhuru Minannajaasaati Tsalaatsatun:
Al-Khomru Idzaa Takhollalat Binafsiha,
Wajildul Maytati Idzaa Dubigho,
Wa Maa Shooro Hayawaanan .

Yang menjadi suci padahal awalnya najis adalah tiga jenis:

Khomr apabila jadi cuka dengan sendirinya ,
dan kulit bangkai apabila disamak,
dan apa-apa yg jadi binatang

Syarh atau penjelasan :

Ada Tiga Perkara Najis yang Bisa Menjadi Suci;

Pertama, Arak ketika menjadi cuka, dengan sendirinya atau secara alamiah.
Perubahan dari arak menjadi cuka tanpa ada campuran seperti kimia atau tidak dengan menggunakan alat.
Maka jika perubahan dari arak menjadi cuka dengan menggunakan cairan kimia atau dengan menggunakan alat teknologi canggih, maka tetap dianggap tidak suci, alias masih termasuk barang yang najis.

Kedua, Kulit bangkai ketika sudah disamak.

Ketiga, hewan yang muncul dari sesuatu atau daging bagkai, meski dari bangkai hewan yang najis seperti bangkai anjing yang telah membusuk dan mengeluarkan ulat-ulat, maka ulat-ulat tersebut adalah hewan yang suci.

JENIS NAJIS
Annajaasaatu Tsalaatsun:
Mughollazhotun,
Wa Mukhoffafatun,
Wa Mutawassithotun.
Wal Mughollazhotu Najaasatul Kalbi Wal Khinzhiiri Wafar’i Ahadihima .
Wal Mukhoffafatu Baulushshobiyyi Alladzii Lam Yath’am Ghoyrollabani Walam Yablughil Haulaini wal Mutawassithotu Saairunnajaasaati.

Ada tiga macam najis,
yaitu najis mughalladhah (berat),
mukhaffafah (ringan),
dan mutawassitah (pertengahan).

Najis Mughalladah (berat) yaitu berupa anjing—meskipun anjing pintar seperti pandai bertugas mencari atau melacak bukti-bukti kejahatan—dan babi berikut anak-anak yang dilahirkan dari salah satu anjing dan babi tersebut.

Berkaitan dengan anak atau hewan yang dilahirkan dari rahim anjing dan babi telah dibahas panjang lebar oleh para ulama.

Rinciannya sebagai berikut, bahwa jika hewan yang dilahirkan dari perkawinan antara anjing jantan dengan anjing betina atau antara anjing jantan dengan babi betina atau sebaliknya adalah berbentuk anjing atau babi atau bahkan berbentuk manusia, maka hewan yang dilahirkan tersebut adalah najis.

Karena dalam kaidahnya dirumuskan bahwa far’ (anak atau cabang) harus dikutkan pada induknya.
Dengan kata lain anak secara hukum fikihnya harus diikutkan pada induknya.
Sedangkan anak dari anjing dan babi yang berupa manusia meski najis, akan tetapi jika dapat berbicara dan diberi akal yang sempurna sebagaimana manusia biasa maka ia ter-taklif dengan terbebani kewajiban dan larangan agama.

Jika anjing atau babi bersenggama dengan sapi atau kambing, kemudian melahirkan hewan yang berbentuk kambing, maka tetap dihukumi najis.
Karena hewan yang dilahirkan harus diikutkan pada induknya yang lebih rendah, yaitu hewan yang najis.

Sedangkan hewan yang dilahirkan dari hasil persenggamaan antara manusia dan anjing atau babi, maka dirinci,

pertama, jika berbentuk anjing atau babi maka najis.

Kedua, jika berbentuk manusia, ada dua pendapat, yaitu :

menurut Imam Ramli adalah suci,
sedangkan menurut Imam Ibnu Hajar adalah najis yang dimaafkan (ma’fu ‘anhu), meski boleh sholat dan menjadi imam, boleh bergaul dengan manusia lain, boleh masuk masjid, dan tidak dianggap najis jika orang lain bersalaman dengannya. Bahkan boleh menjadi wali nikah dan boleh menjadi pemimpin—kecuali pendapatnya as-Syekh al-Khatib.

Adapun hewan yang dilahirkan dari hasil senggama antara kedua anak manusia (laki-laki dan perempuan) yang berupa anjing, maka tetap dianggap suci. Dan jika hewan itu dapat berkata-kata dan berakal sempurna, maka tetap dibebani perintah dan larangan agama (taklif). Karena taklif itu ada karena adanya akal sehat.
Demikian juga hewan yang dilahirkan dari hasil senggama antara kedua kambing (betina dan jantan) berupa manusia yang dapat berkata-kata dan berakal sempurna maka boleh disembeli dan boleh dimakan, meski ia adalah seorang khatib dan imam besar.
· Najis Mukhaffafah (ringan), yaitu berupa air kencing anak kecil yang belum makan sama sekali kecuali air susu dan belum sampai dua tahun.
Yang dimaksud dengan anak kecil tersebut adalah anak laki-laki. Dengan demikian mengecualikan air kencing anak perempuan dan banci (khuntsa), darah, dan tai, yang wajib dibasuh dengan air secukupnya.
· Najis Mutawassithah; semua najis yang selain yang telah disebutkan dalam najis mughalladah (anjing dan babi) dan mukhaffafah (air kencing anak kecil laki-laki yang hanya minum susu, belum makan dan belum sapai usia dua tahun) tersebut.


NAJIS MUGHOLAZOH
Al-Mughollazhotu Tathhuru Bighoslihaa Sab’an Ba’da Izaalati ‘Ainihaa Ihdaahunna Bituroobin . Wal Mukhoffafatu Tathhuru Birosysyil Maa-i ‘Alaihaa Ma’al Gholabati Waizaalati ‘Ainihaa . Wal Mutawassithotu Tanqosimu Ilaa Qismaini : Ainiyyatun Wa Hukmiyyatun . Al’Ainiyyatu Allatii Lahaa Launun Wa Riihun Wa Tho’mun Falaa Budda Min Izaalati Launihaa Wa Riihahaa Wa Tho’mihaa. Wal Hukmiyyatu Allatii Laa Launa Walaa Riiha Walaa Tho’ma Kafaa Jaryul Maa-i ‘Alaihaa .
Najis Mughollazhoh atau berat suci ia dengan membasuhnya 7 kali sesudah menghilangkan dzatnya salah satunya dengan tanah . Dan najis Mukhoffafah atau ringan suci ia dengan memercikkan air diatasnya serta rata dan sudah hilang dzatnya
Dan najis Mutawassithoh atau najis sedang terbagi kepada 2 bagian : ‘Ainiyyah dan Hukmiyyah . Adapun ‘ainiyyah yaitu sesuatu yg baginya ada warna dan bau dan rasa maka tidak boleh tidak dari menghilangkan warnanya dan baunya dan rasanya .
Dan najis hukmiyyah yaitu yg tidak ada warna dan tidak ada bau dan tidak ada rasa maka cukup mengalirkan air diatasnya.

Syarh atau Penjelasan Kitab Safinah an-Najah
Cara Penyucian Pada Tiga Macam Najis

Cara mencuci najis mughalladah adalah membasuh dan mensucikannya dengan tujuh kali basuhan atau sucian, setelah hilangnya bekas najis tersebut. Salah satu dari tujuh sucian tersebut harus dibarengi dengan debu. Sebab ada hadits nabi yang menyatakan bahwa, “basuhan terakhir dari tujuh basuhan harus dicampur dengan debu”; dan hadits yang lain menyatakan bahwa “basuha pertama dari ketujuh basuhan harus dicampur dengan debu”. Jadi mencampur debu bebas baik di awal atau di akhir basuhan.
Yang dimaksud dengan debu adalah endut atau tanah liat yang tercampur dengan air sehingga lembab atau pun debu yang berupa pasir lembut yang kering. Sehingga tidak bisa dianggap mensucikan najis mughalladhah dengan sabun, kayu atau yang lainnya.
· Najis mukhaffafah (ringan) dengan memercikkan air pada najis, dan diperkirakan bahwa najisnya dapat dihilangkan. Meskipun memercikkan airnya tanpa dilakukan oleh seseorang atau dengan air hujan yang menetes dari langit dan menetesi tempat atau sesuatu yang najis, maka dianggap cukup sebagai pembasuhan pada najis mukhaffafah (ringan).

Najis mutawasitah (pertengahan) ada dua, yaitu najis ‘ayniyah dan najis hukmiyah.

Najis ‘ayniyah adalah najis yang memiliki bentuk atau warna, bau, dan rasa. Disebuat dengan najis ‘ayniyah, sebab najisnya dapat ditangkap oleh panca indera. Cara penyuciannya harus secara total menghilangkan baik bentuk atau warna, bau dan rasanya.
Jika warna atau baunya susah dihilangkan setelah dibasuh berkali-kali, maka sudah dianggap cukup dan benda atau tempat yang terkena najis sudah bisa dianggap suci. Batasanya susah menghilangkan najis adalah dengan membasih tiga kali akan tetapi tidak dapat hilang bentuk atau baunya, maka sudah dianggap cukup atau suci. Sedangkan jika rasa najis susah dihilangkan maka benda atau tempat yang terkena najis bisa dikatakan najis yang ma’fu ‘anhu (dimaafkan).
Sedangkan najis hukmiyah adalah najis yang tidak memiliki bentuk, bau dan rasa. Cara menyucikannya adalah cukup dengan mengalirkan air pada benda atau tempat yang terkena najis.


HUKUM HAIDH
AQOLLUL HAIDHI YAUMUN WA LAILATUN WA GHOOLIBUHU SITTUN AW
SAB’UN WA AKTSARUHU KHOMSATA ‘ASYARO YAUMAN BILAYAALIIHAA. WA AQOLLUTH-THUHRI BAINAL HAIDHOTAINI KHOMSATA ‘ASYARO YAUMAN WALAA HADDA LIAKTSARIHI. AQOLLUN-NIFAASI MAJJATUN WA GHOOLIBUHU ARBA’UUNA YAUMAN WA AKTSARUHU SITTUUNA YAUMAN .

Sekurang-kurangnya haid yaitu 1 hari 1 malam dan biasanya 6 atau 7 hari dan paling banyaknya 15 hari dan malamnya.
Dan sekurang-kurangnya suci antara 2 haid yaitu 15 hari dan tidak ada batas untuk banyaknya .
Sekurang-kurangnya nifas yaitu sekali meludah dan biasanya 40 hari dan paling banyaknya 60 hari

Syarh atau Penjelasan Kitab Safinah an-Najah

Batasan Waktu darah Haidl
Batas sedikitnya waktu haid adalah satu hari satu malam.
Jika seorang perempuan yang mengalami heidl selama satu hari satu malam, maka waktu sucinya dalah dua puluh sembilan hari, jika satu bulannya adalah genap tiga puluh hari.
Batas umumnya waktu heid adalah enam atau tujuh hari dan tujuh malam.
Jika seorang perempuan yang mengalami heidl selama enam hari dan enam malam, maka waktu sucinya dalah dua puluh empat hari, jika satu bulannya adalah genap tiga puluh hari.
Jika seorang perempuan yang mengalami heidl selama tujuh hari dan tujuh malam, maka waktu sucinya dalah dua puluh tiga hari, jika satu bulannya adalah genap tiga puluh hari.
Batas maksimum waktu heid adalah lima belas hari dan lima belas malam.
Jika seorang perempuan yang mengalami heidl lima belas hari dan lima belas malam, maka waktu sucinya dalah lima belas hari dan lima belas malam, jika satu bulannya adalah genap tiga puluh hari.
Batasan waktu yang telah dirumuskan tersebut, batas minimum, keumuman dan maksimum adalah hasil ijtihan Imam as-Syafi’i dengan menggunakan metode istiqra’ (penelitian lapangan dan pengamatan secara langsung pada kebiasaan kaum Hawa).
Jika ada darah yang keluar dari alat kelamin perempuan yang berada di luar batasan-batasan waktu yang telah dirumuskan tersebut dianggap sebagai darah istihadhah (darah penyakit).

Batasan Waktu darah Nifas
Sedaikitnya nifas adalah satu tetes darah.
Batas keumuman nifas adalah empat puluh hari dan empat puluh malam.
Sedangkan batasan maksimum nifas adalah enam puluh hari dan enam puluh malam.
Jika ada darah yang keluar dari alat kelamin perempuan yang berada di luar batasan-batasan waktu yang telah dirumuskan tersebut dianggap sebagai darah istihadhah (darah penyakit).

Udzur Sholat


◆◆UDZUR SHALAT◆◆

An-Naumu Wannisyaanu
Udzur-udzurnya sholat itu ada2:
Tidur dan lupa
Syarh atau Penjelasan

Waktu Shalat yang lima waktu, subuh, dzuhur, asar, maghrib dan isya, sudah ditetapkan batas waktunya.
Umat Islam dituntut dalam melaksanakan shalat harus tepat pada waktunya yang telah dibatasi.
Shalat yang dilakukan dalam waktunya disebut sebagai shalat adha’.
Namun ada dua sebab yang bisa diperbolehkannya shalat dilaksanakan di luar waktu yang telah ditentukannya,
atau sholat di luar waktunya,
yaitu karena tidur dan lupa.

Sedangkan sholat yang dikerjakan di luar waktunya disebut sebagai sholat qadha.

Tidur atau tertidur dan lupa adalah yang menyebabkan diperbolehkannya seseorang untuk melaksanakan shalat di luar waktu yang telah ditentukan atau shalat qadha, dan ia tidak berdosa.

Pertama, tidur atau tertidur.
Artinya tidur yang tidak sembarangan dan yang betul-betul lena dan nyenyak sehingga seseorang tidak dapat bangun tetap pada waktu shalat, maka diperbolehkan shalat di luar waktunya.

Jika seseorang bangun dari tidurnya pada waktu yang mencukupkan atau memadai untuk melaksanakan wudhu dan shalat, maka ia diwajibkan untuk sesegera mungkin melaksanakannya agar tidak keluar waktu.
Tapi jika seseorang bangun dari tidurnya pada waktu yang hanya cukup untuk berwudhu saja, tidak bisa mencakup untuk sekalian shalat, maka ia tidak diwajibkan melakukannya dengan secara terburu-buru dan tidak wajib mempersegera melaksadakan shalat qadha,
meski ada sisa waktu yang cukup untuk melaksanakan wudhu dan tidak mencukupi untuk melaksanakan satu rakaat pun.

Etika orang yang hendak melaksanakan shalat qadha,
hendaknya seseorang mengdahulukan shalat qadha-nya dan kemudian baru melaksanakan shalat adha-nya.

Semisal, seseorang yang terlena tidur di waktu dzuhur sampai terbangun dari tidur pada saat sudah keluar waktu dan memasuki waktu shata Ashar,
maka ia harus terlebih dahulu melaksanakan shalat Dzuhur, kemudian disusul dengan shalat Asahar.

Jika seseorang yang telah tertidur pada hari Jumat sampai tidak bisa mengikuti shata Jumat,
maka ia harus meng-qadhai dengan cara melaksanakan shalat dzuhur, bukan shalat Jumat.

Sebab shalat Jumat dapat dilaksanakan kalau memenuhi syarat dan rukunnya, di antara syaratnya adalah harus berjamaah minimal sengan 40 orang jamaah.

Sedangkan qadha merupakan persoalan kasuistik dan udzur, yang tidak mungkin dilaksanakan secara berjamaan dengan 40 orang.
Maka ia harus meng-qadha dengan shalat dzuhur.
Dalam hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim menyatakan bahwa
“Barang siapa yang tertidur atau lupa sehingga meninggalkan shalat, maka lakukanlah shalat pada saat terjaga atau pada saat sudah ingat”.
Meski demikian, nabi memberikan peringatan bahwa jika tidurnya tidak sembarangan atau tidak sembrono tanpa disengaja, maka ia boleh meng-qadha dan tidak berdosa. Sebagaimana hadits Nabi yang mengatakan bahwa
“Tidak ada kesembronoan dalam tidur, yang mengakibatkan seseorang tidak shalat sehingga masuk waktu shalat yang lain”.

Dengan demikian, jika seseorang tertidur sembarangan,
Selain ia berdosa tetapi j7ga wajib melaksanakan shalat qadha.

(Peringatan);
Banyak tidur adalah salah satu penyebab yang bisa mengakibatkan orang kaya menjadi miskin, dan menambah parah atau bertambah kemiskinannya bagi orang yang miskin.

Kedua, lupa.
Artinya seseorang lupa jika ia belum shalat,
maka ia diharuskan meng-qadha dan tidak mendapatkan dosa.

Akan tetapi penyebab lupan buka dikarenakan kesembronoan atau disebabkan aktifitasi yang sia-sia,
seperti maen catur, atau tidak disebabkan mengerjakan maksiat.

Namun jika sebaliknya,
lupa disebabkan mengerjakan sesuatu yang tidak bermanfaat atau mengerjakan maksiat, maka selain ia tetap harus mengerjakan shalat qadha tapi ia juga mendapatkan dosa, sebab lupa meninggalkan shalat lantaran mengerjakan maksiat atau melakukan hal yang tidak bermanfaat.

Berkaitan dengan hadits yang menjelaskan lupa sebagai penyebab meninggalkannya shalat sudah disebutkan di atas, dalam pembahasan tidur atau tertidur sebagai salah satu penyebab meninggalkan shalat.

Shalat qadha bagaikan hutang yang harus dibayar oleh siapa pun yang menginggalkan shalat pada waktu yang ditentukan.

◆◆_______________◆◆◆_____________◆◆

◆◆SYARAT SHOLAT◆◆

Syuruuthush-Sholaati Tsamaaniyyatun :
Ath-Thohaarotu ‘Anil Hadatsaini Al-Ashghori Wal Akbari,
Wath-Thohaarotu ‘Aninnajaasati Fits-tsaubi Walbadani Wal Makaani ,
Wasatrul ‘Auroti ,
Wastiqbaalul Qiblati ,
Wadukhuulul Waqti ,
Wal’ilmu Bifardhiyyatihaa ,
Wa An Laa Ya’taqida Fardhon Min Furuudhihaa Sunnatan , wajtinaabul Mubathilaati.
Al-Ahdatsu Itsnani :
Ashghoru Wa Akbaru,

Al-Ashghoru
Maa Awjabal Wudhuua
Wal Akbaru Maa Awjabal Ghosla.

Al-’Aurootu Arba’un:
‘Auroturrojuli Muthlaqon Wal Amati Fishsholaati Maa Bainassurroti Warrukbati ,

Wa ‘Aurotul Hurroti Fishsholaati Jamii’u Badanihaa
Maa Siwal wajhi Wal Kaffaini

Wa ‘Aurotul Hurroti Wal Amati ‘Indal Ajaanibi Jamii’ul Badani Wa ‘Inda Mahaarimihaa Wannisaai Maa Bainassurroti Warrukbati.

Syarat-syarat sholat yaitu 8 :

Syarat-syarat sholat yaitu 8 :
Suci dari 2 hadas yakni hadats kecil dan hadas besar ,
dan suci dari segala najis pada pakaian
dan badan
dan tempat ,
dan menutup aurat ,
dan menghadap kiblat ,
dan masuk waktu ,
dan mengetahui dengan fardhu-fardhunya ,
dan bahwa jangan ia beri’tiqod akan yg fardhu daripada fardhu-fardhu sholat
akan sunah,
dan meninggalkan segala yg membatalkan sholat.

Syarh atau Penjelasan
Syarat Shalat
Syarat Shalat ada delapan.
Syarat adalah segala sesuatu yang menentukan ke-sah-an shalat.
Sebagaimana rukun.
Namun, perbedaannya yaitu syarat adalah segenap sesuatu yang harus dipenuhi sebelum mengerjakan shalat, sementara rukun adalah segenap sesuatu yang harus dipenuhi pada saat shalat dilaksanakan.

Kedua-duanya, syarat dan rukun, harus terpenuhi demi ke-sah-an shalat.
Jika tidak dipenuhi salah satunya atau tidak dipenuhi sebagian dari syarat dan rukun, maka shalat tidak bisa dianggap sah.

Karena itu, sah dan tidaknya shalat sangat tergantung pada terpenuhinya syarat dan rukun yang telah ditentukan.

Syarat shalat yang pertama, suci dari kedua hadats,
yaitu hadats kecil seperti kecing dan berak, dan hadats besar seperti keluar seperma (mani) akibat bersetubuh suami-istri atau dengan sebab yang lainnya, seperti bermimpi, dll.,
yang diharuskan mandi junub.

Syarat kedua, suci dari najis dalam pakean, badan dan tempat seseorang yang melaksanakan shalat.
Yang dimaksud dengan najis tersebut adalah najis yang la yu’fa ‘anhu (tidak bisa dimaklumi menurut syariah).

Perlu diketahui bahwa najis ada empat macam.
Pertama, najis yang tidak dapat dimaklumi (ya yu’fa ‘anhu) menurut syariat baik menempel di baju atau di dalam air.
Najis jenis ini sudah kita kenal bersama, yaitu najis yang biasa kita fahami, seperti kotoran orang, darah, dll.

Kedua, najis yang dapat dimaklumi menurut syariat baik di baju atau pun di pakean. Seperti najis yang tidak bisa dilihat dengan penglihatan yang wajar dan biasa.
Artinya dilihat dengan mata telanjang, tanpa menggunakan alat pembesar, seperti Miskroskup, dll.

Ketiga, najis yang tidak dapat dimaklumi menurut syariat jika menempel dalam pakean tapi dimaklumi (ma’fu) jika berada di dalam air, seperti darah yang sedikit.
Karena darah sedikit dapat dengan mudah dihilangkan dengan air.
Dan jika menempel di baju, akan mengerahkan tenaga dengan susah payah menghilangkannya dan akan bisa jadi merusak baju akibat terus terusan dibasuh.
Termasuk jenis najis tersebut juga adalah sisa-sisa istinja (bersuci dengan menggunakan batu),
maka dimaklumi atau dimaafkan jika masih ada di badan dan pakean, meskipun sisa-sisa tersebut terbasahi oleh keringat dan terbawa mengalir dan mengenai pakean.
Tapi sisa-sisa istinja tersebut tidak bisa dimaklumi jika berada di dalam air.

Keempat, najis yang dimaklumi jika ada di dalam air, tapi tidak dimaklumi jika menempel di pakean.
Jenis najis tersebut seperti bangkai binatang yang tidak memiliki darah yang mengalir, seperti Kutu (Tuma),
sehingga jika seseorang dengan sengaja pada saat shalatnya membawa Kutu di dalam pakeannya maka shalatnya batal, alias tidak bisa dianggap sah.
Termasuk dalam jenis najis tersebut adalah pantatnya burung yang terdapat najis yang menempel dan burung tersebut jatuh ke dalam air, maka burung tersebut tidak bisa dikatakan menajiskan air.
Dengan kata lain airnya masih dianggap suci.
Akan tetapi berbeda dengan pantat manusia.
Jika seseorang yang pantatnya terkena najis,
maka shalatnya tidak sah.

Menurut Imam as-Syihab ar-Ramly bahwa batasan sedikit dan banyaknya najis dapat diketahui menurut pandangan umum (‘urf), yang menyatakan bahwa jika najis tidak susah terdeteksi dan susah dihindarinya maka termasuk najis yang sedikit (qalyl),
jika lebih dari itu (baca, mudah terdeteksi, jelas dan mudah untuk dihindarinya) maka termasuk najis yang banyak (katsir). Sebab pada dasarnya najis sedikit yang dapat dimaklumi oleh syariat (ma’fu ‘anhu) adalah karena susah untuk dihindari (ta’adzuri al-ikhtiraz).

Sedangkan sebagian ulama berpendapat bahwa batasan banyaknya najis adalah batasan dimana seseorang dapat melihatnya dengan jelas tanpa mengangan-angan, memikirkan dan menelitinya.

Syarat shalat yang ketiga,
menutup aurat.
Batasan menutup aurat dengan sekiranya kulit seseorang tidak dapat dilihat oleh mata orang lain.
Ada perbedaan batasan aurat dalam shalat bagi laki-laki dan perempuan.
Batasan aurat bagi laki-laki yang wajib ditutup adalah anggaota badan di antara pusar sampai dengan lutut.

Sedangkan aurat bagi perempuan yang wajib ditutup adalah sekujur tubuhnya kecuali wajah dan kedua telapak tangannya.

Orang yang hendak melaksanakan shalat harus menutupi auratnya, meski shalat di kegelapan malam atau berada di tempat yang sepi.
Dan disunahkan bagi seorang yang melaksanakan shalat dengan menggunakan pakian yang terbaik yang dimilikinya.

Syarat shalat yang keempat, menghadap Kiblat.
Kewajiban menghadap Kiblat pada saat seseorang melaksanakan shalat berdasarkan ayat al-Quran yang memerintahkan menghadap Kiblat.
Sebagaimana Allah berfirman;

قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ وَإِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُون
َ

“Sungguh kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh kami akan memalingkan kamu ke Kiblat yang kamu sukai.
Palingkanlah mukamu ke arah Masjid al-Haram.
Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.
Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al-Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui bahwa berpaling ke Masjid al-Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan”.

Dalam ayat tersebut Allah telah memerintahkan lebih dari satu kali memerintahkan kita untuk menghadap kiblat.
Dan ayat tersebut dipertegas dengan ayat yang lain, sebagaimana Allah berfirman;

وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَإِنَّهُ لَلْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ, وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَيْكُمْ حُجَّةٌ إِلَّا الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِي وَلِأُتِمَّ نِعْمَتِي عَلَيْكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ

“Dan dimana saja kamu keluar, maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjid al-Haram;
sesungguhnya ketentuan itu benar-benar sesuatu yang hak dari Tuhanmu.
Dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan. Dan darimana saja kamu keluar, maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjid al-Haram.
Dan dimana saja kamu (sekalian) berada, maka palingkanlah wajahmu ke arahnya, agar tidak ada hujjah manusia atas kamu, kecuali orang-orang yang dzalim di antara mereka.
Maka janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepadaKu.
Dan agar kesempurnaan nikmatKu atasmu, dan supaya kamu mendapat petunjuk”.

Ada sebuah ungkapan kaidah yang mengatakan bahwa
“kullu syain mustasnayatun” (Setiap sesuatu ada pengecualiannya).

Sebagaimana dalam persoalan menghadap Kiblat, ada dua keadaan yang mana seorang yang melaksanakan shalat diperbolehkan untuk tidak menghadap Kiblat.

Pertama, keadaan seseorang yang teramat mencekam dalam bayang-bayang ketakutan (syadzid al-khauf).
Seperti kondisi peperangan, dimana jika memaksakan kehendak untuk berusaha menghadap Kiblat, maka akan tertangkap basah oleh musuh dan nyawa pun akan melayang,
Kondisi seperti inilah yang membolehkan seseorang shalat tidak menghadap Kiblat.

Kedua, shalat sunah yang dilaksanakan dalam kondisi bepergian yang diperbolehkan menurut syariat.

Dengan kata lain, perjalanan tidak dalam keadaan atau demi mencapai tujuan yang bernuansa maksiat.

Ketahuilah bahwa terdapat empat derajat kiblat, sesuai dengan kadar dan cara mengetahui eksistensinya.
Pertama, seseorang yang benar-benar melihat dan mengetahui secara langsung Kiblat.

Kedua, mengetahui Kiblat dari informasi seorang yang dapat dipercaya, seperti ia mengatakan; aku melihat sendiri Kiblat.

Ketiga, mengetahui Kiblat melalui ijtihad.

Dan keempat, mengetahui Kiblat melalui taqlid pada mujtahid.



Syarat shalat yang kelima,
masuk waktu.
Mengetahui masuknya waktu secara yakin benar-benar mengetahui secara persis, atau dengan praduga (dhzan) melalui ijtihad yang sungguh-sungguh.
Ada tiga tingkatan dalam mengetahui masuknya waktu shalat.

Pertama, mengetahui sendiri secara langsung, atau mengetahui dari informasi seseorang yang dapat dipercaya, atau melihat petunjuk Bencet yang benar dan tidak rusak, atau mengetahui melalui petunjuk bayang-bayang matahari, atau jam dan Kompas.
Termasuk juga adzan seorang muadzin termasuk petunjuk yang dapat mengetahui masuknya waktu shalat.

Kedua, ijtihat melalui penggalian al-Quran, belajar, mengkaji ilmu, atau menganalisa melalui fenomena alam, seperti kokok Ayam di pagi hari. Harus diteliti apakah kokok ayam telah menunjukkan waktu subuh sudah masuk atau belum.
Maka tidak boleh mengikuti kokok ayah dengan tanpa diteliti dan berijtihan terlebih dahulu.

Ketiga, taklid pada seorang mujtahid. Maka jiaka seseorang mampu berijtihan sendiri, maka tidak boleh mengikuti ijtihan orang lain.
Dengan syarat ia dalam kondisi dapat melihat.
Sementara bagi orang yang buta harus taklid pada mujtahid, meski ia sebenarnya mampu berijtihad.
Karena kebutaannya itu lah sehingga mengakibatkan ia tidak mampu meneliti secara komprehensip dan seksama atas sesuatu.

Syarat Shalat yang keenam adalah mengetahui kefardhuan shalat. Artinya bahwa shalat lima waktu itu diketahui dan diyakini sebagai shalat yang wajib dilaksanakan bagi seluruh umat Islam.

Syarat shalat yang ketujuh adalah tidak meyakini shalat fardhu sebagai pekerjaan yang disunahkan.

Syarat shalat yang kedelapan adalah menjauhi segala sesuatu yang membatalkan shalat.
Hadats ada dua, hadats kecil dan hadats besar.
Hadats kecil adalah hadas yang telah mewajibkan wudhu, seperti kentut. Sedangkan hadas besar adalah hadas yang mewajibkan mandi, seperti Junub, haid, nifas, dan melahirkan.
Batasan aurat terdapat empat macam.

Pertama, aurat laki-laki secara mutlak, baik dalam shalat atau di luar shata, dan budak pada saat shalat adalah anggauta badan di antara pusar sampai dengan lutut.

Kedua, aurat perempuan merdeka pada saat shalat adalah sekujur badan kecuali wajah dan kedua telapak tangan.

Ketiga, aurat perempuan merdeka dan amat (budak) pada saat di hadapan laki-laki lain adalah seluruh badannya.

Dan keempat, aurat perempuan merdeka dan amat pada saat di hadapan mahramnya atau di hadapan peremuan lain adalah anggauta badan di antara pusar sampai dengan lutut.

Rukun Sholat

بسم الله الرحمن الرحيم

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته



RUKUN SOLAT

TERJEMAHAN SAFINATUN NAJAH

اركان الصلاة سبعة عشر
Arkaanushsholaati Sab’ata ‘Asyaro :

الاول النية
Al-Awwalu Anniyyatu

الثا تكبرة الاحرام

Ats-Tsaani Takbiirotul Ihroomi

الثالث القيام علي القادر

Ats-Tsaalitsu Al-Qiyaamu ‘Alal Qoodiri

الرابع قراءتالفاتحة
Ar-Roobi’u Qirooatul Faatihati

الخامس الركع
Al-Khoomisu Ar-Rukuu’u

اسادس اتمءنينة فيه
As-Saadisu Aththuma’niinatu Fiihi

تلسابع الاعتدل
As-Saabi’u Al-’Itidaalu

الثامن التمءنينة فيه
Ats-Tsaaminu Aththuma’niinatu Fiihi

التاسع السجود مرتين
At-Taasi’u Assujuudu Marrotaini

العاشر التمءنينة فيه
Al-’Aasyiru Aththuma’niinatu Fiihi

الحادي عشر الجلوس بين السجدتين
Al-Haadi ‘Asyaro Aljuluusu Bainassajadataini

الثان عشر التمءنينة فيه
Ats-Tsaani ‘Asyaro Aththuma’niinatu Fiihi

الثالث عشر التشهدالاخرة
Ats-Tsaalitsu ‘Asyaro Attasyahhudul Akhiiru

الرابع عشر القعود فيه
Ar-Roobi’u ‘Asyaro Alqu’uudu Fiihi

الخامس عشر الصلاة علي النبي صلي الله عليه والسلام فيه
Al-Khoomisu ‘Asyaro Ashsholaatu ‘Alannabiyyi Shollallaahu ‘Alaihi Wasallama Fiihi

السادس عشر السلام
As-Saadisu ‘Asyaro Assalaamu

السابع عشر الترتيب
As-Saabi’u ‘Asyaro Attartiibu .

Rukun-rukun Sholat itu ada :
Yang pertama niat,
yg kedua takbirotul ihrom,
yg ketiga berdiri atas orang yg mampu,
yg keempat membaca Fatihah,
yg kelima ruku’
yg keenam tuma’ninah di dalam ruku’
yg ketujuh i’tidal
yg kedelapan tuma’ninah di dalam i’tidal,
yg kesembilan sujud 2 kali
yg kesepuluh tuma’ninah di dalam sujud,
yg kesebelas duduk antara 2 sujud,
yg kedua belas tuma’ninah di dalam duduk antara 2 sujud,
yg ketiga belas tasyahhud akhir,
yg keempat belas duduk di dalam tasyahhud akhir,
yg kelima belas sholawat atas Nabi SAW,
yg keenam belas salam,
yg ketujuh belas tertib

Syarh atau Penjelasan :

Rukun Shalat
Rukun shalat ada tujuh belas.
Pertama, niat.
Tempat niat adalah di hati.
Dan niat dilaksanakan bersamaan dengan pekerjaan pertama dalam shalat, yaitu takbirat al-ihram.
Sedangkan melafadzkan niat dengan lisan adalah disunahkan demi membantu kehadiran niat di dalam hati. Tapi melafadzkan dengan lisan tidak wajib dilakukan.

Kedua, takbirat al-ihram.
Dinamakan takbirat al-ihram, sebab dengan memulai takbir maka secara otomatis segenap sesuatu yang halal sebelum shalat, seperti makan dan berkata-kata, telah diharamkan setelah memasuki takbir shalat tersebut.
Al-ihram adalah pengharaman sesuatu yang halal disebabkan sedang mengerjakan shalat.

Ketiga, berdiri bagi orang yang mampu mengerjakan shalat fardhu dengan berdiri.
Dalil yang dijadikan sebagai dasar pijakan hukum bahwa berdiri adalah salah satu syarat shalat adalah sebuah perkataan Nabi Muhammad SAW kepada
‘Imran bin Husyen pada saat ‘Imran terserang penyakit ambeyen;
“Shalatlah dengan berdiri, jika tidak mampu maka duduklah. Jika tidak mampu duduk, maka tidur lah”.
Hadits yang diriwayatkan Imam al-Bukhari.

Dan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam an-Nasai ada tambahan redaksi bahwa,
“jika tidak mampu, maka terlentanglah.
Sebab Allah tidak membebani makhluknya, justru Allah memberikan leleluasaan dan kelapangan bagi hambanya untuk beribadah sesuai dengan kadar kemampuannya”.

Jelas bahwa dalam Islam, sungguh sangat lentur dan kompromistis dalam menetapkan rumusan hukum dan kondisional.

Keempat, membaca al-Fatihah.
Cara membaca al-fatihah boleh dengan hafalan,
melihat langsung Mushaf, atau dengan cara mengikuti bacaan sang guru yang melatih atau mengajarinya.
Membaca al-fatihah diwajibkan bagi setiap orang yang mekalsanakan shalat,
baik shalat berjamaah atau sendirian (munfaridl),
baik sebagai imam atau makmum.

Dalil al-Quran yang mewajibkan membaca al-fatihah yaitu;

وَلَقَدْ آَتَيْنَاكَ سَبْعًا مِنَ الْمَثَانِي وَالْقُرْآَنَ الْعَظِيمَ

“Dan sesungguhnya kami telah memberikan kepadamu tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang dan al-Quran yang agung”. (QS. Al-Hujarat: 87).

Sebagian besar para ulama menafsirkan mab’u al-matsani yang terdapat dalam ayat tersebut adalah surah al-fatihah.

Sebagaimana menurut Imam Fakhruddin ar-Razi dalam kitab tafsirnya yaitu Mafatih al-Ghayb atau Tafsir al-kabir menjelaskan bahwa;

إذا عرفت هذا فنقول : سبعاً من المثاني مفهومه سبعة أشياء من جنس الأشياء التي تثنى ولا شك أن هذا القدر مجمل ولا سبيل إلى تعيينه إلا بدليل منفصل وللناس فيه أقوال : الأول : وهو قول أكثر المفسرين : إنه فاتحة الكتاب وهو قول عمر وعلي وابن مسعود وأبي هريرة والحسن وأبي العالية ومجاهد والضحاك وسعيد بن جبير وقتادة ، وروي أن النبي صلى الله عليه وسلم قرأ الفاتحة وقال : هي السبع المثاني رواه أبو هريرة ، والسبب في وقوع هذا الاسم على الفاتحة أنها سبع آيات ، وأما السبب في تسميتها بالمثاني فوجوه : الأول : أنها تثنى في كل صلاة بمعنى أنها تقرأ في كل ركعة . والثاني : قال الزجاج : سميت مثاني لأنها يثنى بعدها ما يقرأ معها . الثالث : سميت آيات الفاتحة مثاني ، لأنها قسمت قسمين اثنين ، والدليل عليه ما روي أن النبي صلى الله عليه وسلم قال : « يقول الله تعالى قسمت الصلاة بيني وبين عبدي نصفين » والحديث مشهور . الرابع : سميت مثاني لأنها قسمان ثناء ودعاء ، وأيضاً النصف الأول منها حق الربوبية وهو الثناء ، والنصف الثاني حق العبودية وهو الدعاء . الخامس : سميت الفاتحة بالمثاني ، لأنها نزلت مرتين مرة بمكة في أوائل ما نزل من القرآن ومرة بالمدينة . السادس : سميت بالمثاني ، لأن كلماتها مثناة مثل : { الرحمن الرحيم } [ الفاتحة : 3 ] { إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ * اهدنا الصراط المستقيم * صِرَاطَ الذين أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ } [ الفاتحة : 5-7 ] وفي قراءة عمر : ( غير المغضوب عليهم وغير الضالين ) . السابع : قال الزجاج : سميت الفاتحة بالمثاني لاشتمالها على الثناء على الله تعالى وهو حمد الله وتوحيده وملكه .

Jika kita simak ungkapan tersebut bahwa terdapat banyak sekali penafsir yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan sab’u al-matsani adalah fatihah al-kitab atau surah al-fatihah, seperti pendapat sahabat Umar, Ali bin Abu Thalib, Ibnu Mas’ud, Abu Hurairah, al-Hasan, Aby Tsa’labah,
Mujahid, al-Dlahhak, Sa’id bin Jabir dan Qatadah telah meriwayatkan hadits yang menyatakan bahwa sesungguhnya Nabi membaca al-fatihah dan beliau berkata;
sesungguhnya surah al-fatihah ini adalah as-sab’u al-matsany, diriwayatkan oleh Abu hurairah.
Sebab surah al-fatihah dinamakan itu karena al-fatihah terdiri dari tujuh ayat, yaitu as-sab’u.

Sedangkan dinamakan dengan al-matsani terdapat beberapa aspek,
pertama, karena surah al-fatihah selalu dibaca di setiap rakaat dalam shalat.

Kedua—sebagaimana yang dikatakan al-Zajjaj—dinamakan Matsani karena dipuji setelah dibacanya.

Ketiga, sebab al-fatihah di dalamnya terbagi menjadi dua bagian, sebagaimana yang diriwayatkan dalam hadits bahwa Nabi berkata bahwa
“Allah mengatakan bahwa aku bagi shalat, yaitu sebagian adalah bagianKu dan sebagian yang lain untuk hambaKu”.

Keempat, dinamakan dengan al-matsani sebab di dalamnya terdapat dua bagian, yaitu tsana’ (pujian dan sanjungan) dan doa, sebagian hak Tuhan (rububiyah) yaitu tsana’ (pujian) dan sebagian lagi hak hamba (‘ubudiyah) yaitu doa. Kelima, al-fatihah dinamakan dengan matsani sebab sebagian ayatnya diturunkan di Makkah dan sebagian lagi di Madinah.

Keenam, dinamakan dengan al-matsani sebab dalam ayat-ayatnya terdapat dua kalimat yang dobel seperti ar-rahman dan ar-rahim, atau iyyaka na’butdzu dan iyyaka nasta’in, dll.

Ketujuh, al-fatihah dinamakan dengan al-matsanai—sebagaimana yang dikatakan al-Zajjaj—karena di dalamnya terdapat pujian, sanjungan dan peng-EsaanNya.

Terdapat banyak hadits Nabi yang menegaskan akan kewajiban membaca al-fatihah dalam shalat.
Di antaranya hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, yang edua menyatakan bahwa Nabi berkata
“Tidak ada shalat (baca tidak sah) bagi seseorang yang tidak membaca al-fatihah”.

Dan hadits Nabi lain yang diriwayatkan Abu Hurairah bahwa Nabi mengatakan
“Barang siapa yang melaksanakan shalat tidak membaca Ummul-Quran (induk al-quran, yaitu al-fatihah)
maka shalatnya tidak bisa dianggap sempurna”.

Syarat shalat yang kelima, ruku’

Tata cara ruku’ yaitu pertama, meletakkan kedua tepalak tangannya pada kedua lutut.

Kedua, kedua telapak tangan menekan kedua lutut.

Ketiga, merenggangkan jari-jemarinya.

Keempat, merenggangkan kedua sikunya dari lambungnya.

Kelima, membentangkan dan meluruskan punggung sampai selurus papan tulis atau dapat diibaratkan jika punggung itu dituangkan air dari atasnya maka tidak akan tumpah.

Keenam, membungkukkan punggung tidak terlalu kebawah dan tidak pula mendongkak terlalu ke atas. Tapi di tengah-tengah di antara keduanya.

Syarat shalat yang keenam, tuma’ninah (diam dan bersahaja sejenak) dalam ruku’.
Pada saat tuma’ninan, seseorang disunahkan membaca subhana rabbiya al-‘adhim wa bihamdihi (maha suci Tuhanku yang maha agung) minimal satu kali bacaan, dan lebih baiknya dibaca sebanyak tiga kali bacaan.

Syarat yang ketujuh, i’tidal.
Yang dimaksud i’tidal adalah kembali berdiri dari ruku’. Disunahkan pada waktu i’tidal tepat pada saat mengangkat pundak untuk berdiri dari ruku’ membaca doa “sami’alLahu li-man hamidah”
(Allah maha mendengar hamba yang telah memujiNya)

Syarat kedelapan, tuma’ninah dalam i’tidal,
yaitu diam sejenak berdiri sambil disunahkan membaca doa
“Rabbana laka al-hamdu mil’us-samawati wa mil’ul-ardhi wa mil’u ma sy’tha min syai’in ba’dhu”
(Tuham kami, hanya bagiMu segala puji yang memenuhi langit, bumi, dan segala sesuatu yang telah Engkau inginkan).

Syarat kesembilan, sujud sebanyak dua kali.
Disunahkan pada waktu sujud dengan membaca doa “Subhana rabbiyal-a’la wa bi-hamdihi”
(Maha suci Tuhanku yang maha tinggi, dan dengan menujimu).

Syarat kesepuluh, tuma’ninah (diam dan bersahajah) dalam sujud.

Syarat kesebelas, duduk di antara dua sujud. Pada saat duduk di antara dua sujud disunahkan membaca doa
“Rabby ighfirly warhamny wajburny warfa’ny warzuqny wahdhiny wa’afiny wa’fu ‘anny”

Syarat kedua belas, tuma’ninah dalam duduk di antara dua sujud.

Syarat ketiga belas, tasyahhud al-akhir.

Syarat keempat belas, duduk dalam tasyahhud.

Syarat kelima belas, membaca shalawat pada Nabi dalam tasyahud.

Syarat keenam belas, membaca salam. Ada dua salam,
Yaitu salam pertama dengan memalingkan wajah ke samping kanan dan salam kedua dengan memalingkan wajah ke samping kiri.

Salam pertama hukumnya wajib, karena termasuk syarat shalat. Sedangkan salam kedua hukumnya sunnah.

Salam paling minimal diucapkan; “Assalamu’alaikum”,
dan maksimalnya diucapkan;
“Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh”.

Syarat ketujuh belas, tartib.
Artinya menjalankan shalat harus secara tartib (berurutan) mengerjakan satu syarat ke syarat yang lain.

Kewajiban mengerjakan shalat secara tartib sebab dalam hadits disebutkan
“Shalluu kama ra’aytumuny ushally”
(shalatlah kalian seperti kalian melihat langsung saya shalat).

Jadi segenap pekerjaan shalat harus sesuai dengan shalat Nabi. Sedangkan shalat yang dikerjakan Nabi dilaksanakan secara tartib. Maka setiap orang yang mengerjakan shalat pun harus tartib sebagaimana Nabi mengerjakan shalat.



NIAT SHALAT

النية ثلاث درجاة
ان كانت الصلاة فرصا وجب قصد الفعل والتعيين والفرصية
وان كانت نفلة مؤقتة او ذات سبب وجب قصدالفعل والتعيين
وان كانت نفلة مطلقا وجب قصدالفعل فقت

الفعل أصلي
والتعيين ظهرا او عصرا
والفرصية فرضا

ANNIYYATU TSALAATSU DAROJAATIN ,
In Kaanatishsolaatu Fardhon Wajaba Qoshdul Fi’li Watta’yiinu
Wal Fardhiyyatu ,
Wain Kaanat Naafilatan Muaqqotatan Aw DzataSababin Wajaba Qoshdul Fi’li Watta’yiinu ,
Wain Kaanat Naafilatan Muthlaqon Wajaba Qoshdul Fi’li Faqoth.
Al-Fi’lu Usholli ,
Watta’yiinu Zhuhron Aw ‘Ashron ,
Wal Fardhiyyatu Fardhon .

Niat itu 3 derajat , jika adalah sholat itu fardhu maka wajib Qoshdu Fi’il dan Ta’yin dan Fardhiyyah ,
dan jika adalah sholat itu sunah yg ditentukan waktunya atau memiliki sebab maka wajib Qoshdu Fi’il dan Ta’yin ,
dan jika adalah sholat itu sunah mutlak maka wajib Qoshdu Fi’il saja

Al-’Fi’lu yaitu kalimat Usholli , dan Ta’yin yaitu kalimat Zhuhur atau ‘Ashar , dan Fardhiyyah yaitu kalimat Fardhon.

Syarh atau Penjelasan Kitab Safinah an-Najah

3 derajat Niat
Ada 3 derajat niat.
Pertama, menyengaja mengerjakan seperti mengerjakan shalat dihadirkan di dalam hati untuk membedakan dengan pekerjaan-pekerjaan yang lain.

Kedua, menentukan (ta’yin) seperti shalat harus ditentukan shalat dzuhur, asar, dll.,
agar dibedakan dengan shalat-shalat lainnya.

Ketiga, menyebutkan ke-fardhluan-nya (fardliyyah), agar membedakannya dengan pekerjaan atau shalat sunnah. Ketiganya diwajibkan ada pada saat niat mengerjakan shalat wajib atau fardhu.

Jika shalat sunnah yang dibatasi waktu, seperti sunnah rawatib atau shalat yang mempunyai sebab seperti shalat Istisqa’ (shalat yang demi mengharapkan curahan hujan) pada musim kemarau, maka dalam niat wajib dua hal, yaitu menyengaja (qashdhu) dan ta’yin (menentukan).

Jika shalat sunnah mutlak, maka diwajibkan dalam niatnya hanya satu hal, yaitu niat mengerjakan saja, tidak diwajibkan untuk menentukan jenis pekerjaannya. Yang dimaksud dengan shalat sunnah mutlak adalah shalat yang dikerjakan tanpa ditentukan waktunya dan dilaksanakan dengan tanpa ada sebab tertentu yang memotivasinya.

SYARAT TAKBIROTUL IHROM
Syuruuthu Takbiirotil Ihroomi Sittata ‘Asyaro :
An Taqo’a Haalatal Qiyaami Fil Fardhi An Taqo’a Haalatal Qiyaami Fil Fardhi ,
Wa An Takuuna Bil ‘Arobiyyati,
Wa An Takuuna Bilafzhil Jalaalati Wabilafzhi Akbaru, Wattartiibu Bainallafzhoini ,
Wa An Laa Yamudda Hamzatal Jalaalati ,
Wa ‘Adamu Maddi Baa-i Akbaru ,
Wa An Laa Yusyaddidal Baa-a ,
Wa An Laa Yaziida Waawan Saakinatan Aw Mutaharrikatan Bainal Kalimataini ,
Wa An Laa Yaziida Waawan Qoblal Jalaalati,
Wa An Laa Yaqifa Baina Kalimataittakbiiri Waqfatan Thowiilatan Walaa Qoshiirotan ,
Wa An Yusmi’a Nafsahu Jamii’a Huruufiha Wadukhuulul Waqti Fil Muwaqqoti Wa Iiqoo’uhaa Haalal Istiqbaali ,
Wa An Laa Yukhilla Biharfin Min Huruufihaa , Wata’khiiru Takbiirotil Ma’muumi ‘An Takbiirotil Imaami .

Syarat-syarat takbirotul ihrom itu ada16 :
●bahwa jatuhnya takbirotul ihrom pada ketika berdiri pada fardhu
●dan bahwa takbirotul ihrom itu dengan bahasa Arab ,
●dan bahwa takbirotul ihrom itu dengan lafaz Allah dan lafaz Akbar ,
●dan tertib antara 2 lafaz , dan bahwa tidak memanjangkan ●huruf hamzah lafaz Allah,
●dan tidak memanjangkan huruf ba pada lafaz Akbar ,
●dan bahwa tidak mentasydidkan huruf ba ,
●dan bahwa tidak menambah huruf wawu yg mati atau yg berharokat antara2 kalimat ,
●dan bahwa tidak menambah huruf wawu sebelum lafaz Allah
●dan bahwa tidak berhenti antara 2 kalimat takbir dengan berhenti yg panjang,
●dan tidak pula yg pendek ,
●dan bahwa ia memperdengarkan dirinya akan seluruh huruf-huruf Allahu Akbar,
●dan masuk waktu pada sholat yg ditentukan waktunya
●dan menjatuhkan takbirotul ihrom ketika menghadap kiblat,
●dan bahwa mencampur dengan satu huruf daripada huruf-huruf takbir,
●mengakhirkan takbir ma’mum daripada takbir imam

Syarh atau Penjelasan Kitab Safinah an-Najah

Syarat Takbiratul Ihram

Ada enam belas (16) syarat Takbirat al-ihram.

◆Pertama, dikumandangkan pada saat berdiri tegak dan tetap pada saat harus dikumandangkan.

◆Kedua, dikumandangkan atau diucakpan takbir dengan menggunakan bahasa Arab bagi yang mampu.
Jika ada seseorang yang tidak mampu takbir dengan menggunakan bahasa Arab, maka diperbolehkan dengan menggunakan bahasa negaranya sebagai terjemahan dari takbir.

◆Ketiga, harus dengan kalimat jalalah, yaitu kalimat Allah, seperti biasa dikumandangkan dengan Allahu Akbar. Dengan demikian tidak sah jika diganti dengan semisal kalimat Ar-rahmanu Akbar, atau yang lainnya.

◆Keempat, harus menggunakan kalimat Allahu Akbar (Allah maha besar). Dengan demikian tidak sah jika diganti dengan menggunakan kalimat Allahu kabir (Allah besar), sebab akan menghilangkan keagungan dan kebesaranNya.

◆Kelima, kedua kalimat Allah dan Akbar harus diucapkan secara tartib, tidak boleh disela-selai dengan kalimat lain atau berdiam cukup lama.

◆Keenam, tidak boleh membaca panjang huruf hanzah dari kalimat jalalah. Sebab akan merubah kedudukan kalimat dan akan merubah makna, yang tadinya Allah menjadi kalimat pertannyaan atau istifham.

◆Ketujuh, tidak boleh membaca panjang huruf ba kalimat Akbar. Jika dibaca panjang huruf ba’ yang ada pada kalimat Akbar, maka shalatnya tidak sah. Sebab jika dibaca panjang, akan merubah muatan maknanya.
Yaitu jika hamzahnya dibaca fathah, maka akbar yang ba’-nya dibaca panjang bermakna salah satu nama kendang besar; dan jika hamzahnya dibaca kasrah, maka berarti mengandung makna salah satu nama bagi nama-nama haidl..

◆Kedelapan, tidak boleh membaca tasydzidh huruf ba’ kalimat Akbar.
Jika dibaca tasydzidh maka shalatnya tidak sah.

◆Kesembilan, tidak boleh menambahkan huruf wawu baik berharakat atau tidak di antara kedua kalimat antara kalimat Allah dan Akbar.
Jika ditambahi, semisal Allah wa Akbar, maka shalatnya tidak sah.

◆Kesepuluh, tidak boleh menambahkan huruf wawu sebelum kalimat jalalah, yaitu Allah. Jika ditambahkan huruf Wawu sebelum kalimat Allah, menjadi Wa Allahu Akbar, maka shalatnya tidak sah.

◆Kesebelas, tidak boleh berhenti cukup lama atau sebentar di antara kedua kalimat Allah dan Akbar. Namun tidak menjadi soal jika hendak menambahkan huruf AL ta’rif pada kalimat Akbar, menjadi dibaca Allahu Al-Akbar, maka tidah membatalkan shalat.

◆Kedua belas. Membaca seluruh huruf-huruf kalimat yang dikumandangkan harus dapat didengar oleh telinganya sendiri. Hal ini jika pendengarannya sehat, tidak dalam kondisi sakit telinga, dan tidak ada suara bising atau gaduh yang dapat menenggelamkan suaranya.
Jika ada gangguan dalam kupingnya atau ada suara gaduh dan bising, maka harus menaikkan volume suaranya tinggi-tinggi agar dapat didengar oleh kupingnya sendiri.
Jika seseorang gagu maka cukup dengan menggerakkan bibir dan mulutnya.

◆Ketiga belas, memasuki waktu shalat bagi shalat fardhu yang lima waktu dan bagi shalat sunnah yang ditentukan waktunya.

◆Keempat belas, diharuskan membaca takbir pada saat menghadap Kiblat.

◆Kelima belas, tidak boleh merusak salah satu huruf yang terdapat dalam kalimat takbiratul Ihram,

◆Keenam belas, mengakhirkan takbirnya makmum dari takbirnya imam pada saat shalat berjamaah. Jika takbir makmum dan imam bersamaan atau takbir makmum mendahului dari takbirnya imam maka shalatnya tidak sah.

••••••
••••••

SYARAT FATIHAH
SYARAT2 MEMBACA FATIHAH DALAM SHOLAT

فصل شروط الفاتحة عشرة
الترتيب
والموالاة
ومرأعاة حروفها
ومراعاة تشديداتها
وانلايسكت سكتة طويلة ولاقصيرة يقصد بهاقطع القرأءة
وقراءة كل آياتها ومنهاالبسملة
وعدماللحن المخل بالمعني
وانتكون حالة القيام في الفرض
وان يسمع نفسه القرأة
وان لايتخللهاذكراجنبي

Syarat-syarat Fatihah itu ada10 :
Tertib ,
dan berturut-turut ,
dan memelihara segala hurufnya ,
dan memelihara segala tasydidnya ,
dan bahwa jangan ia (orang yg sholat) diam dengan diam yg panjang dan tidak pula yg pendek yg ia bermaksud dengannya memutuskan bacaan ,
dan tiada salah bacaan yg dengan merusakkan makna ,
dan bahwa dibaca Fatihah itu ketika berdiri pada sholat Fardhu,
dan bahwa ia memperdengarkan dirinya akan bacaan ,
dan bahwa tidak menyelangi akan Fatihah oleh dzikir yg lain.

Syarh atau Penjelasan
Syarat al-fatihah
Syarat al-fatihah ada sepuluh (10).

Pertama, harus tartib.
Artinya dibaca secara runut sesuai dengan runutan ayat-ayat yang ada dalam surah al-fatihah.

Kedua, mualat (berurutan).
Artinya satu ayat dengan ayat yang lain tidak ada yang menyela-nyelai, seperti membaca dzikir lain yang tidak ada sangkut-pautnya dengan shalat di antara bacaan ayat-ayat surah al-fatihah.

Ketiga, menjaga secara keseluruhan huruf-huruf yang terdapat dalam surah al-fatihah.
Diketahui bahwa huruf yang ada dalam surah al-fatihah berjumlah 138 huruf, dan semuanya harus dijaga dengan cara membacanya yang benar dan sesuai dengan tempat dan letaknya huruf-huruf itu keluar dari mulut dan tenggorokan seseorang (makharij al-huruf).

Keempat, menjaga bacaan tasydid yang ada di segenap huruf-huruf surah al-fatihah.

Kelima, tidak boleh berdiam diri cukup lama.
ataupun diam sebentar yang bertujuan memutus bacaan.
Tapi jika ada udzur, seperti lupa atau tidak tahu, maka tidak merusak kesahan shalat.

Keenam, membaca seluruh ayat-ayat yang ada di dalam surah al-fatihah, dan di antara yang termasuk dalam surah al-fatihah adalah ayat Basmalah.
Sebab Nabi sendiri menganggap Basmalah sebagai bagian dari ayat dari surah al-fatihah,
diriwayatkan Ibnu Khuzaimah dan al-Hakim dan keduanya menilai bahwa hadits tersebut adalah sahih.

Ketujuh, tidak boleh membaca ayat-ayat secara pelo yang dapat merusak makna yang terkandung di dalam kalimat-kalimat yang ada dalam ayat.
Sebab berubahnya cara baca akan merubah kanduangan maknanya.

Kedelapan, membaca dengan cara berdiri pada saat melaksanakan shalat fardhu.
Sudah barang tentu persyaratan ini bagi orang-orang yang mampu melaksanannya.

Kesembilan, seseorang dapat mendengarkan seluruh bacaannya secara komprehensif dari awal sampai akhir.

Kesepuluh, tidak boleh menyisipkan atau menyela-nyelai bacaan dzikir lain di tengah-tengah bacaan ayat-ayat al-fatihah. Kecuali dzikir yang ada kaitannya dengan kemaslahatan shalat, seperti bacaan amin bagi makmum yang sedang berjamaah.


بسم الله الرحمن الرحيم

فصل
قشديدات الفاتحة اربع عشرة

PERINCIAN TASYDID2 PADA ALFATIHAH
Tasydid pada Al Fatihah itu ada 14

بسم الله فوق الام

Bismillaahi Fauqollaami,

الرحمن
Arrohmaani Fauqorroo-i،

الحيم
Arrohiimi Fauqorroo-i،

الحدلله
Alhamdulillaahi Fauqo laamil jalaalah,

رب العالمين
Robbil'Aalamiin Fauqol ba,

ملك يومالدين
Maaliki Yaumiddiini Fauqoddaali،

اياك نعبد
Iyyaaka Na’budu Fauqol Yaa-i،

واياك نستعين
Waiyyaaka Nasta’iinu Fauqol Yaa-i,

اهدناالصراط المستقيم
Ihdinashshiroothol Mustaqiima Fauqoshsoodi،

صرط الذين
Shirootolladziina Fauqollaami،

انعمت عليهم غيرالمغضوب عليهم والاالضالين
An’amta ‘Alaihim Ghoyril Maghdhuubi ‘Alaihim Waladhdhoolliina Fauqodhdhoodi Wallaami.

Segala tasydid Fatihah yaitu 14 :
◆Lafazh Bismillah diatas huruf Lam,
◆Lafazh Arrohmaani diatas huruf Ro,
◆Lafazh Arrohiimi diatas huruf Ro
◆Lafazh Alhamdu Lillaahi diatas huruf Lam Jalalah,
◆Lafazh Robbal ‘Aalamiina diatas huruf Ba ,
◆Lafazh Arrohmaani diatas huruf Ro ,
◆Lafazh Arrohiimi diatas huruf Ro ,
◆Lafazh Maaliki Yaumiddini diatas huruf Dal ,
◆Lafazh Iyyaaka Na’budu diatas huruf Ya ,
◆Lafazh Waiyyaaka Nasta’iinu diatas huruf Ya ,
◆Lafazh Ihdinashshiroothol Mustaqiima diatas huruf Shod ,
◆Lafazh Shirootholladziina diatas huruf Lam
◆Lafazh An’amta ‘Alaihim Ghoyril Maghdhuubi ‘Alaihim
◆Waladhdhoolliina diatas huruf Dhod dan huruf Lam.

Syarh atau Penjelasan Kitab Safinah an-Najah
Bacaan Tasydzid surah al-fatihah

Bacaan tasydzid dalam surah al-fatihah terdapat 14 (empat belas) tempat.
Pertama, membaca tasydid huruf Lam yang ada dalam kalimat Bismil-Lah.

Kedua, membaca tasydid huruf ra’ yang ada dalam kalimat ar-Rahman.

Ketiga, membaca tasydid huruf ra’ yang ada dalam kalimat ar-rahim.

Keempat, membaca tasydid Lam jalalah yang ada dalam kalimat Alhamdulil-lah.

Kelima, membaca tasydid huruf ba’ yang ada di dalam kalimat Rabbil-‘alamin.

Keenam, membaca tasydid huruf ra’ yang ada dalam kalimat ar-rahman.

Ketujuh, membaca tasydid huruf ra’ yang ada dalam kalimat ar-rahim.

Kedelapan, membaca tasydid huruf dhal yang ada dalam kalimat Maliki yaumid-din.

Kesembilan, membaca tasydid hurud ya’ yang ada dalam kalimat iyyaka na’budu.

Kesepuluh, membaca tasydid huruf ya’ yang ada dalam kalimat iyyaka nasta’in.

Kesebelas, membaca tasydid huruf shad yang ada dalam kalimat Ihdinas-shirat al-mustaqim.

Kedua belas, membaca tasydid huruf Lam yang ada dalam kalimat Shiratal-Ladzina.

Ketiga belas, membaca tasydid huruf Dhad yang ada dalam kalimat An’amta ‘alaihim ghayril maghdhubi ‘alaihim walad-dzallin.

Keempat belas, membaca tasydid huruf Lam yang ada dalam kalimat An’amta ‘alaihim ghayril maghdhubi ‘alaihim walad-dzallin.