Selasa, 24 November 2015

keseharian suami istri

Akhlaq Keseharian Suami Isteri Dalam Islam


Dalam Islam, ikatan suami dan istri bukan hanya soal akad nikah lalu masalah selesai. Ikatan suami dan istri mengikat sekaligus setiap pasangan hampir dalam segala hal. Hampir segala hal perlu melibatkan satu sama lain terutama saat mengambil putusan penting. Di sini dibutuhkan musyawarah dan saling pengertian untuk memutuskan kemaslahatan bersama.

Terkait keseharian, Islam meminta kesediaan keduanya untuk berinteraksi satu sama lain secara baik dengan air muka dan jiwa yang berseri-seri. Dalam keadaan apapun, Islam meminta keduanya untuk tetap menjaga sikap-sikap yang mengindahkan satu sama lain.

Abu Bakar Al-Hushni al-Husaini dalam Kifayatul Akhyar fi Ghayatil Ikhtishar mengatakan sebagai berikut.


يجب على كل واحد من الزوجين معاشرة صاحبه بالمعروف، ويجب على كل بذل ما يجب عليه بلا مطل ولا إظهار كراهية بل يؤديه وهو طلق الوجه. والمطل مدافعة الحق مع القدرة وهو ظلم. قال الله تعالى ولهن مثل الذي عليهن بالمعروف. والمراد تماثلها في وجوب الأداء بالنسبة إلى ما يجب عليه، وقال تعالى وعاشروهن بالمعروف. وجماع المعروف الكف عما يكره وإعفاء صاحب الحق عن مؤنة الطلب وتأديته بلا كراهة

Setiap pasangan suami istri wajib berinteraksi satu sama lain secara baik. Setiap dari mereka juga wajib mengerahkan tenaga untuk kewajibannya tanpa tunda-tunda dan tanpa menampakkan ketidaksukaan. Setiap mereka sepatutnya melaksanakan tanggung jawab dengan wajah manis. “al-mathollu(tunda-tunda)” ialah mengulur waktu dalam menunaikan kewajiban sementara ia mampu berbuat segera. Ini satu bentuk kezaliman. Allah berfirman, “Istri-istri itu memiliki hak sebanding dengan kewajibannya secara baik.” Maksudnya, istri dalam menunaikan kewajiban setara dengan porsi kewajiban suami.

Allah berfirman, “Bergaullah dengan mereka secara baik.” Kebaikan yang sempurna itu menahan diri dari tindakan tidak menyenangkan pasangan, memaafkan kelalaian pasangan dalam menunaikan kewajibannya, dan melaksanakan kewajiban tanpa rasa terpaksa.

Berdasarkan dua ayat Al-Quran di atas dan uraian Abu Bakara Al-Hushni, setidaknya setiap pasangan suami dan istri perlu belajar untuk bersikap arif dalam mengarungi perjalanan rumah tangga yang tidak sehari atau setahun. Suasana kondusif di rumah juga sangat membantu untuk menciptakan rumah tangga yang sejuk dan menciptakan keluarga bahagia. Sehingga anak-anak juga merasa betah di rumah.

berdoa dimakam bukan menyembah makam

Berdoa di Makam Bukan Menyembah Kuburan
Oleh: Ustadz Moh. Ma’ruf Khozin[1]

Bagi sebagian kalangan yang mengaku bermanhaj ahli hadis berdoa di makam Nabi, wali, ulama dan orang sholeh adalah bid’ah yang terlarang. Namun pengakuan ini justru bertolak belakang dengan realita pendapat dan amaliyah ahli hadis yang justru sering melakukan doa saat ziarah. Jika mereka secara lantang menuduh Nahdliyin sebagai ‘Quburiyun’ dan bahkan tuduhan ‘Ubbadul Qubur (penyembah kubur), maka mereka sebenarnya menyematkan tuduhan itu kepada para ahli hadis!! Ini beberapa kecil fakta yang diamalkan para ahli hadis:
 
قُلْتُ: وَالدُّعَاءُ مُسْتَجَابٌ عِنْدَ قُبُوْرِ اْلاَنْبِيَاءِ وَاْلاَوْلِيَاءِ وَفِي سَائِرِ الْبِقَاعِ، لَكِنْ سَبَبُ اْلاِجَابَةِ حُضُوْرُ الدَّاعِي وَخُشُوْعُهُ وَابْتِهَالُهُ، وَبِلاَ رَيْبٍ فِي اْلبُقْعَةِ الْمُبَارَكَةِ وَفِي الْمَسْجِدِ وَفِي السَّحَرِ وَنَحْوِ ذَلِكَ يَتَحَصَّلُ ذَلِكَ لِلدَّاعِي كَثِيْرًا وَكُلُّ مُضْطَرٍّ فَدُعَاؤُهُ مُجَابٌ (سير أعلام النبلاء للذهبي - ج 17 / ص 77)
“Saya (adz-Dzahabi) berkata: Doa akan dikabulkan di dekat makam para Nabi dan wali, juga di beberapa tempat. Namun penyebab terkabulnya doa adalah konsentrasi orang yang berdoa dan kekhusyukannya. Dan tidak diragukan lagi di tempat-tempat yang diberkati, di masjid, saat sahur dan sebagainya. Doa akan lebih banyak didapat oleh pelakunya. Dan setiap orang yang sangat membutuhkan doanya akan terkabul” (al-Hafidz adz-Dzahabidalam Siyar A’lam an-Nubala’ 17/77)
 
-          Makam Ali bin Musa
وَقَبْرُهُ بِسَنَا بَاذْ خَارِجَ النَّوْقَانِ مَشْهُوْرٌ يُزَارُ بِجَنْبِ قَبْرِ الرَّشِيْدِ قَدْ زُرْتُهُ مِرَارًا كَثِيْرَةً وَمَا حَلَّتْ بِي شِدَّةٌ فِي وَقْتِ مَقَامِي بِطُوْسٍ فَزُرْتُ قَبْرَ عَلِّى بْنِ مُوْسَى الرِّضَا صَلَوَاتُ اللهِ عَلَى جَدِّهِ وَعَلَيْهِ وَدَعَوْتُ اللهَ إِزَالَتَهَا عَنِّى إِلاَّ اسْتُجِيْبَ لِي وَزَالَتْ عَنِّى تِلْكَ الشِّدَّةَ وَهَذَا شَئٌ جَرَّبْتُهُ مِرَارًا فَوَجَدْتُهُ كَذَلِكَ (ثقات ابن حبان - ج / ص 457)
“Makam Ali bin Musa di Sanabadz sebelah luar Nauqan sudah masyhur dan diziarahi di dekat makam ar-Rasyid. Saya sudah sering ziarah berkali-kali. Saya tidak mengalami kesulitan ketika saya berada di Thus kemudian saya berziarah ke makam Ali bin Musa, semoga Salawat dari Allah dihaturkan kepada kakeknya (Nabi Muhammad) dan saya berdoa kepada Allah untuk menghilangkan kesulitan tersebut, kecuali dikabulkan untuk saya dan kesulitan itu pun lenyap dari saya. Ini saya alami berkali-kali, dan saya temukan seperti itu.” (Ahli Hadis Ibnu Hibban dalam ats-Tsiqat 8/457)
 
-          Makam Bakkar bin Qutaibah
وَدُفِنَ بَكَّارُ بْنُ قُتَيْبَةَ بِطَرِيْقِ الْقَرَافَةِ، وَالدُّعَاءُ عِنْدَ قَبْرِهِ مُسْتَجَابٌ (رفع الإصر عن قضاة مصر لابن حجر – ج / ص 43  سير أعلام النبلاء للذهبي - ج 12 / ص 603)
“Bakkar bin Qutaibah dimakamkan di jalan Qarafah. Berdoa didekat makamnya adalah mustajab” (al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Raf’ al-Ishri ‘an Qudlat Mishr 1/43 dan al-Hafidz adz-Dzahabi dalam Siyar A’lam an-Nubala’ 12/603)
 
-          Makam Zubair bin Awwam
كُشِفَ أَهْلُ الْبَصْرَةِ عَنْ قَبْرٍ عَتِيْقٍ فَإِذَا هُمْ بِمَيِّتٍ طُرِيَ عَلَيْهِ ثِيَابُهُ وَسَيْفُهُ فَطَنُّوْهُ الزُّبَيْرَ بْنَ الْعَوَّامِ فَأَخْرَجُوْهُ وَكَفَّنُوْهُ وَدَفَنُوْهُ وَاتَّخَذُوْا عِنْدَ قَبْرِهِ مَسْجِدًا وَوُقِفَ عَلَيْهِ أَوْقَافٌ كَثِيْرَةٌ وَجُعِلَ عِنْدَهُ خُدَّامٌ وَقَوَّامٌ وَفُرُشٌ وَتَنْوِيْرٌ (البداية والنهاية - ج 11 / ص 319)
“Telah terbuka sebuah kuburan tua bagi penduduk Bashrah, ternyata mereka menemukan janazah yang baru dengan kain dan pedangnya. Mereka mnyengkanya Zubair bin Awwam. Maka mereka mengeluarkannya, mengkafaninya dan memakamkannya, dan menjadikan masjid di dekatnya. Mereka juga mewakafkan banyak benda wakaf dan mereka menjadikan pelayan, penjaga, alas dan lampu di dekatnya” (al-Hafidz Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wa an-Nihayah 11/319)
 
-          Makam Ahmad bin Muhammad an-Nahawandi
أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيِّ بْنِ مُزْدِئَن أَبُوْ عَلِيّ اْلقَوْمَسَانِي النَّهَاوَنْدِي الزَّاهِدُ. قَالَ شَيْرَوَيْهِ فِي الطَّبَقَاتِ كَانَ صَدُوْقاً ثِقَةً شَيْخَ الصُّوْفِيَّةِ وَكَانَ لَهُ آيَاتٌ وَكَرَامَاتٌ ظَاهِرَةٌ، وَقَبْرُهُ بِأَنْبَطَ يُزَارُ وَيُقْصَدُ مِنَ اْلبُلْدَانِ (تاريخ الإسلام للذهبي - ج / ص 334)
“Ahmad bin Muhammad an-Nahawandi, yang zahid. Syairawaih berkata dalm ath-Thabaqat: Ia sangat jujur dan terpercaya, gurunya kaum shufi. Ia memiliki tanda-tanda dan karamah yang nyata. Makamnya di Anbat diziarahi dan dikunjungi dari berbagai negeri” (al-Hafidz adz-Dzahabi dalam Tarikh al-Islam 6/334)



[1] Nara Sumber “Hujjah Aswaja” TV 9

hukum memotong rambut saat junub/haid dan rambut yg rontok saat disisir

Rambut dan Kuku yang Putus Saat Haidh Harus Diikutkan Mandi Besar



 Di dalam kitab Fathul Mu-in hamisy dari kitab I’anatut Thalibin juz 1 halaman 75, sebagai berikut:

  1. وَثَانِيْهَا (مِنْ فُرُوضِ الغُسْلِ) تَعْمِيْمِ بَدَنِ حَتَّى الأَظْفَارَ وَمَا تَحْتَهَا وَالشَّعْرَ ظَاهِرًا وَبَاطِنًا وَإِنْ كَثِفَ.
    "Dan yang keduanya (dari fardlu-fardlu mandi) adalah meratakan badan dengan air, sampai kuku-kuku dan apa saja yang ada di bawahnya, dan rambut yang ada di luar dan di dalam meskipun lebat." 

  2. Hadist riwayat Imam Abu Dawud (hadits nomor 249) dan juga imam lainnya, dari Sayyidina Ali ra, katanya:  
    سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: مَنْ تَرَكَ مَوضِعَ شَعْرَةٍ مِشنْ جَنَابَةٍ وَلَمْ يُصِبْهَا المَاءِ فَعَلَ اللهُ بِهِ كَذَا وَكَذَا مِنَ النَّارِ. قَالَ عَلِى: فَمِنْ ثَمَّ عَادَيْتُ شَعْرِى. كَانَ يَجْزِ شَعْرَه رَضِي اللهُ عَنْهُ.
    Saya telah mendengar Rasulullah saw bersabda, "Barangsiapa yang meninggalkan tempat sehelai rambut dari janabat sedangkan air tidak menyiramnya, maka Allah akan memperlakukan dia demikian dan demikian dari api neraka". Ali berkata: "Dari situlah saya memusuhi (membenci) rambut saya". Dan Sayyidina Ali ra. mencukur rambutnya. 

  3. Dalam kitab Nihayatuz Zain halaman 31 disebutkan sebagai berikut:
    مَنْ لَزِمَهُ غَسْلُ يُسَنُّ لَهُ ألاَّ يُزيلَ شَيْئًا مِنْ بَدَنِهِ وَلَو شَعْرًا
    "Barangsiapa yang harus melakukan mandi, maka disunahkan baginya untuk tidak menghilangkan sesuatu dari badannya, meskipun berupa darah atau rambut atau kuku sehingga mandi. Karena setiap bagian badan akan kembali kepadanya di akhirat. Maka andaikata dia menghilangkannya sebelum mandi, akan kembali pada tanggungan hadats besar untuk memukul dengan keras orang tersebut."
    Rambut yang rontok sebelum mandi supaya dikumpulkan, kemudian disiram bersama anggota badan lainnya sesudah berniat mandi. 
    Orang tersebut tidak boleh membaca al-Quran ataupun shalat! Sebab seseorang baru boleh dikatakan sudah mandi janabat tatkala dia telah menyiram air dengan rata seluruh kulit dan rambut dari tubuhnya, sebagaimana keterangan dari kitab-kitab fiqh. Adapun hadistnya sebagai berikut: 

    رَوَى البُخَارِى (245) وَمُسْلِمٌ (316) عَنْ عَائشَةَ رَضِى اللهُ عَنْهَا: أَنَّ النَّبِى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا اغْتَسَلَ مِنَ الجَنَابَةِ بَدَاءَ فَغَسَلَ يَدَيْهِ ثُمَّ يَتَوَضَأ كَما يَتَوَضَأُ للصَّلاَةِ ثُمَّ يُدْخِلُ أَصَابِعَهُ فِى المَاءِ فَيُخَلِّلُ أُصُولَ شَعْرِهِ ثُمَّ يَصُبُّ عَلَى رَأسِهِ ثَلاَثَ غُرَفٍ بِيَدَيْهِ ثُمَّ يُفِيْضُ المَاءَ عَلَىَ جِلْدِهِ كُلِّهِ.

    "Al-Bukhari meriwayatkan (hadist no.316) dari ‘Aisyah ra.:"sesungguhnya Nabi saw. jika beliau mandi dari janabat, beliau memulai, lalu membasuh kedua tangan beliau, kemudian berwudlu dahulu sebagaimana beliau beerwudlu untuk melakukan shalat, kemudian beliau memasukkan jari-jari tangan belliau ke dalam air, lalu menyelahi pangkal-pangkal rambut beliau dengan jari-jari tersebut, kemudian beliau menuangkan air pada kepala beliau dengan tiga cakupan dengan kedua tangan beliau, kemudian beliau meratakan air pada seluruh kulit badan beliau."