Minggu, 29 Mei 2016

Panggilan buat suami-istri menurut Islam

Kebanyakan kita memanggil istri atau suami tanpa disadari dengan panggilan mahramnya 

Di kitab Ar-Raudhatul Murbi’ Syarah Zadul Mustaqni’ juz 3/195, terdapat penjelasan berikut (yang artinya), “Dan dibenci memanggil salah satu di antara pasutri dengan panggilan khusus yang ada hubungannya dengan mahram, seperti istri memanggil suaminya dengan panggilan ‘Abi’ (ayahku) dan suami memanggil istrinya dengan panggilan ‘Ummi’ (ibuku).”Jadi, memanggil istri dengan “ukhti” (yang berarti “saudariku”) atau “dik” (yang maksudnya “adikku”) juga dibenci karena termasuk mahramnya, walaupun tidak berniat menyamakan dengan saudarinya. Keterangan ini dikuatkan pula di dalam kitab Al-Mughni juz 17/199, pasal “Dibenci bagi seorang suami memanggil istrinya dengan panggilan orang yang termasuk mahramnya, seperti suami memanggil istrinya dengan panggilan ‘Ummi’ (ibuku), ‘Ukhti’ (saudariku), atau ‘Binti’ (putriku).”
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dengan sanadnya dari Abu Tamimah Al-Juhaimi, “Ada seorang laki-laki yang berkata kepada istrinya, ‘Wahai Ukhti!’ Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘Apakah istrimu itu saudarimu?’ Beliau membencinya dan melarangnya.” (HR. Abu Daud: 1889)
Akan tetapi, hadits ini dhaif (lemah) karena pada sanadnya ada rawi yang majhul (tidak disebut namanya). Dijelaskan pula di dalam Syarah Sunan Abu Daud, yaitu ‘Aunul Ma’bud: 5/93, bahwa haditsnya mudhtharrib (guncang) sehingga tidak bisa dijadikan dalil.
Dari keterangan di atas maka sebaiknya suami tidak memanggil istrinya dengan panggilan “Ummi” (yang berarti “wahai ibuku”) atau “Ukhti” (yang berarti “wahai saudariku”) walaupun belum mempunyai anak, tetapi boleh memanggil dia dengan namanya atau lebih utama dipanggi nama kunyahnya seperti “Ummu Muhammad”.
Demikian pula istri, sebaiknya tidak memanggil suaminya dengan panggilan “Abi” (yang berarti “ayahku”) atau “Akhi” (yang berarti “saudara laki-lakiku”), tetapi panggil nama aslinya dan lebih utama dipanggil dengan nama kunyah atau gelarnya seperti Abu Muhammad, baik dia mempunyai anak yang bernama Muhammad maupun tidak, karena memberi kunyah atau julukan adalah sunnah, seperti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil seorang anak perempuan kecil dengan panggilan “Ummu Khalid”. (HR. Bukhari: 18/141)
Hendaknya kita mengetahui bahwa panggilan seorang suami kepada istrinya dengan panggilan “umi” atau “mama” atau “ibu” atau “adik” dan yang semisalnya, bisa dihukumi dhihar dan bisa tidak, sesuai dengan niatan sang suami. Hal ini berdasarkan sabda Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam:
(إنما الأعمال بالنيات، وإنما لكل امرئ ما نوى)
“Semua amalan mesti dibangun di atas niat, dan setiap orang hanyalah akan mendapatkan sesuai apa-apa yang dia niatkan.” (Muttafaq ‘alaih).
Apabila sang suami berniat dengan panggilan tersebut untuk menjadikan istri haram digauli (jima’) sebagaimana haramnya ibu, adik, dan mahram-mahram perempuan yang lain maka hal ini masuk dalam hukum dhihar.
Akan tetapi, kebanyakan orang yang menggunakan panggilan tersebut, terutama di negeri kita ini, tidaklah meniatkan yang demikian itu. Biasanya mereka menggunakan panggilan itu sebagai penghormatan dan ungkapan sayang pada istri atau dengan tujuan untuk mengajari anak-anak dalam memanggil orang tua mereka. Sehingga yang demikian ini tidaklah dihukumi dhihar.
Imam Ibnu Qudamah Rohimahulloh mengatakan:
“Apabila (suami) mengatakan: “Kamu di sisiku seperti ibuku atau semisal dengan ibuku,” apabila meniatkan dhihar maka dihukumi dhihar, menurut pendapat keseluruhan ulama.
Namun, jika meniatkan untuk penghormatan dan pemuliaan (sebagaimana mulianya ibu di sisi sang anak) maka bukanlah dhihar…
Demikian pula jika mengatakan: “Kamu itu adalah ummi (ibuku) atau “istriku itu adalah ummi (ibuku).” (Al-Mughny: 6/ 8)
Al-Lajnah Ad-Daimah ketika ditanyakan kepada mereka permasalahan semisal ini menjawab:
“Jika seorang suami berkata kepada istrinya: “Aku adalah saudaramu,” atau “Kamu adalah saudariku,” atau “Kamu itu adalah ibuku,” atau “seperti ibuku,” apabila menginginkan dengannya bahwa sang istri itu sama dengan orang-orang yang disebut tersebut dari sisi kemuliaan, kedekatan, kebaikan, penghormatan, atau dia sama sekali tidak meniatkan (dhihar) dan tidak pula ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa dia meniatkan dhihar, maka apa-apa yang dia ungkapkan tersebut bukanlah dhihar dan tidak ada konsekuensi apapun atas ucapan dia itu.
Namun, apabila dia menginginkan dengan kalimat-kalimat tadi dan yang semisalnya adalah dhihar, atau adanya tanda-tanda yang menunjukkan niatan dhihar padanya, seperti: terlontarnya kalimat tersebut dengan kemarahan atau sebagai bentuk ancaman untuk istri, maka yang demikian ini dihukumi dhihar, dan merupakan perbuatan yang haram.
Wajib atasnya bertaubat dan membayar kaffaroh sebelum mendatangi istrinya (jima’-red) yang berupa: membebaskan seorang budak.
Apabila tidak mendapatkannya maka berpuasa dua bulan berturut-turut.
Apabila tidak mampu, maka (kaffarohnya) adalah memberi makan enam puluh orang miskin.”(Fatwa Lajnah: 20/ 274)
[lihat juga: Hasyiah Ibnil Qoyyim ‘ala sunan Abi Dawud bersama ‘Aunul Ma’bud: 6/ 212)

Sabtu, 28 Mei 2016

Dzikir ba'da sholat fardhu


I. Sumber-sumber Kitab Membaca Wirid Dan Doa Setelah Shalat

1. Dalam kitab Al-Majmu’ karya Imam An-Nawawi juz III halaman 465-467 disebutkan bahwa Imam Asy-Syafi’i dan para sahabatnya serta ulama-ulama lainnya sepakat bahwa dzikir sesudah shalat itu disunatkan.

Hal itu berlaku bagi imam, makmum, orang yang shalat munfarid (sendirian), baik laki-laki atau perempuan, musafir, dan lain-lain.
Disepakati pula bahwa berdoa setelah salam shalat juga disunahkan secara bersama-sama. Dalam kitab Al-Adzkar karya Imam An-Nawawi disebutkan bahwa sahabat Ibnu Abbas menjelaskan

إِنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ حِيْنَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنَ اْلمَكْتُوْبَةِ كَانَ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
Mengeraskan suara dzikir sesudah shalat maktubah dapat ditemui pada masa Rosululloh saw.” (lihat pula Shohih Muslim : 652, Sunan An Nasai : 1171, Sunan Abu 
Dawud : 851.

Sahabat Ibnu Abbas berkata

كُنْتُ أَعْلَمُ إِذَا انْصَرَفُوْا بِذَالِكَ إِذَا سَمِعْتُهُ
Artinya: “saya mengetahui ketika orang-orang selesai shalat dan ketika itu saya mendengarnya.” (lihat kitab Al–Adzkar karya Imam An-Nawawi hlm. 98)

2. Masih dalam kitab Al-Majmu’ karya Imam An-Nawawi juz III halaman 469-470 disebutkan

وَهَكَذَا قَالَ أَصْحَابُنَا: إِنَّ الذِّكْرَ وَالدُّعَاءَ بَعْدَ الصَّلاَةِ يُسْتَحَبُّ أَنْ يُسِرَّ بِهِمَا، إِلاَّ أَنْ يَكُوْنَ إِمَامًا يُرِيْدُ تَعْلِيْمَ النَّاسِ فَيُجْهِرُ لِيَتَعَلَّمُوْا، فَإِذَا تَعَلَّمُوْا وَكَانُوْا عَالِمِيْنَ أَسَرُّوْهُ.
قَالَ النَّوَوِيُّ : …. وَ يُسْتَحَبُّ أَنْ يُقْبِلَ عَلَى النَّاسِ فَيَدْعُوْ
Artinya : “Demikianlah para sahabat kami berkata, bahwa dzikir dan doa seusai salam dalam shalat, disunatkan dibaca sirri kecuali bagi imam yang bermaksud membimbing jamaahnya supaya mengamalkannya maka supaya mengeraskan bacaannya, apabila mereka telah mampu melakukannya, maka ia melirihkan bacaannya”.
Imam Nawawi menambahkan : “Bagi imam disunahkan menghadap kepada jamaah lantas membaca doa“.

3. Dalam kitab Al-Umm karya Imam Asy-Syafi’i juz I hlm. 150 disebutkan

إِلاَّ أَنْ يَكُوْنَ إِمَامًا يُحِبُّ أَنْ ِيُتَعَلَّمَ مِنْهُ فَيُجْهِرُ حَتَّى يَرَى أَنَّهُ قَدْ تَعَلَّمَ مِنْهُ, ثُمَّ يُسِرُّ.فَإِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ يَقُوْلُ: “وَلاَ تَجْهَرْ بِصَلاَتِكَ وَلاَ تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِ بَيْنَ ذَالِكَ سَبِيْلاً”. (سورة الإسراء : ١١٠)
“Kecuali bagi imam yang ingin mendidik jamaahnya, maka ia dapat men-jahr-kan (mengeraskan suara dzikir tersebut) sampai ia melihat para jamaahnya telah dapat melakukan hal itu dengan sendirian, maka kemudian imam men-sirri-kan (melirihkan) dzikirnya. Karena Allah berfirman : “Dan janganlah engkau mengeraskan suaramu dalam shalat dan jangan pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu 
 (QS. Al-Isro’ : 110)

4. Akan tetapi menurut kitab Bughyatul Mustarsyidin halaman 48 : Dzikir secara Jahr adalah lebih utama

الذِّكْرُ كَاْلقِرَاءَةِ مَطْلُوْبٌ بِصَرِيْحِ اْلآيَاتِ وَالرِّوَايَاتِ, وَالْجَهْرُ بِهِ حَيْثُ لَمْ يَخَفْ رِيَاءً وَلَمْ يُشَوِّشْ عَلَى نَحْوِ مُصَلٍّ أَفْضَلُ. ِلأَنَّ اْلعَمَلَ فِيْهِ أَكْثَرُ وَيَتَعَدَّى فَضِيْلَـتُهُ لِلسَّامِعِ وَ ِلأَنـَّهُ يُوْقِظُ قَلْبَ اْلقَارِئِ وَيُجْمِعُ هَمَّهُ لِلْفِكْرِ وَيُصْرِفُ سَمْعَهُ إِلَيْهِ وَيَطْرُدُ النَّوْمَ وَيَزِيْدُ فِي النَّشَاطِ إلخ.
“Sebagaimana membaca ayat-ayat Al-Qur’an, berdzikir kepada Allah juga diperintahkan berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an maupun riwayat-riwayat secara tegas. Membaca dzikir secara jahr selama tidak dikhawatirkan terjerumus riya’ (pamer) dan tidak mengganggu orang shalat, maka hal itu lebih utama. Karena pengamalan secara jahr lebih banyak dan lebih luas fadhilah dan keutamaannya bagi yang mendengar, dan lebih membangkitkan hati si pembaca, lebih memfokuskan himmah bertafakkur, dan mengkonsentrasikan pendengaran, mengusir kantuk dan menambah semangat.”

5. Dalam kitab Irsyadul Ibad Disebutkan

وَاْلأَفْضَلُ جَعْلُ يَمِيْنِهِ إِلَى اْلمَأْمُوْمِيْنَ وَيَسَارِهِ إِلَى الْقِبْلَةِ …. وَلَوْ فِي الدُّعَاءِ.
“Yang utama bagi imam adalah menjadikan para makmumnya disebelah kanannya dan arah Qiblat di sebelah kirinya, walau waktu berdoa”.

II. ADZKAR, WIRIDAN DAN DO’A YANG DIANJURKAN

A. Bacaan yang dianjurkan banyak sekali, dengan urutan keutamaan sebagai berikut

1. Yang diambil dari ayat-ayat Al-Qur’an
Dalam kitab Al-Anwarus Saniyyah (syarh Ad-Durorul Bahiyyah) disebutkan :
وَلِكَوْنِ اْلقُرْآنِ مُتَعَبَّدًا بِلَفْظِهِ، أُثِيْبَ قَارِئُهُ وَإِنْ لَمْ يَفْهَمْ مَعْنَاهُ، بِخِلاَفِ الذِّكْرِ فَلاَ بُدَّ أَنْ يَعْرِفَهُ.
“Dan karena ayat-ayat Al-Qur’an itu bernilai ibadah walau sekedar membaca lafadznya, maka si pembacanya sudah diberi pahala walau tidak tahu artinya. Berbeda dengan dzikir selain Al-Qur’an maka harus tahu artinya”.

2. Yang diambil dari hadits-hadits Nabi saw.

3. Yang diambil dari Qoulus Shohabat dan tuntunan Ulama sholihin.

B. Di antara hadits-hadits Nabi saw yang menerangkan tentang adzkar / wiridan sesudah shalat dan yang kebanyakan diamalkan oleh umat Islam adalah sebagai berikut

1. Membaca Istighfar 3 kali. Rosululloh saw bersabda :
“مَنِ اسْتَغْفَرَ اللهَ دُبُرَ كُلِّ صَلاَةٍ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ فَقَالَ : “أَسْتَغْفِرُ اللهَ الَّذِيْ لاَإِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ اْلقَيُّوْمُ وَأَتُوْبُ إِلَيْهِ”, غُفِرَتْ ذُنُوْبُهُ وَإِنْ كَانَ قَدْ فَرَّ مِنَ الزَّحْفِ, وَيَزِيْدُ فِيْهِ “اْلعَظِيْمَ” بَعْدَ الصُّبْحِ وَاْلمَغْرِبِ”(أَخْرَجَهُ ابْنُ السُّنِّيِّ وَأَبُوْ يَعْلَى عَنِ اْلبَرَاءِ) (إِرْشَادُ الْعِبَادِ)
“Barangsiapa beristighfar sesudah shalat 3 kali (dengan membaca Astaghfirullohalladzii lailaha illa huwa…dst) maka diampuni dosa-dosanya walaupun melarikan diri dari barisan peperangan. Setelah shalat subuh dan maghrib ditambah “’al‘Adzim” (jadinya Astaghfirullohal’Adzim)”. (HR. Ibnus Sunni dan Abu Ya’la dari Al-Baro’) [Lihat Irsyadul ‘Ibad, hlm. 20.]

2. Membaca

لاَ اِلَهَ ِالاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ لَهُ اْلمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْئٍ قَدِيْرٌ ×١٠
وَيَزِيْدُ فِيْهَا: “يُحْيِيْ وَيُمِيْتُ بِيَدِهِ الْخَيْرُ” بَعْدَ الصُّبْحِ وَاْلعَصْرِ وَاْلمَغْرِبِ.
Imam Ar Rofi’i meriwayatkan sabda Nabi : “Ketika kamu sholat fardlu ucapkanlah setelah selesai shalat : lailaha illalloh …dst, maka ditulis pahalanya seperti memerdekakan budak. setelah subuh, ashar dan maghrib ditambah Yuhyii wa yumiitu biyadihil khoiru. (lihat kitab Irsyadul Ibad, hal. 20)

Dalam kitab al Husunul Mani’ah, hlm. 7, karya Sayyid Muhammad bin ‘Alawi al Maliki al Hasani, menyebutkan bahwa Nabi saw bersabda

إِنَّ مَنْ قَالَهُ إِذَا أَصْبـَحَ عَشْرَ مَرَّاتٍ كُتِبَ لَهُ عَشْرَ حَسَنَاتٍ وَمُحِيَ ِبِهنَّ عَنْهُ عَشْرُ سَيِّئَاتٍ، وَرُفِعَ لَهُ ِبهِنَّ عَشْرُ دَرَجَاتٍ، وَكُنَّ لَهُ عَدْلَ عِتْقِ اَرْبَعِ رِقَابٍ، وَكُنَّ لَهُ حَرْسًا حَتَّى يُمْسِيَ. وَمَنْ قَالَهَا إِذَا صَلَّى الْمَغْرِبَ دُبُرَ صَلاَتِهِ فَمِثْلُ ذَلِكَ حَتَّى يُصْبِحَ.
“Barang siapa yang membacanya setiap pagi (ba’da shubuh) 10 kali, dia akan diberi pahala 10 kebaikan dan dihapus 10 keburukan, dan diangkat 10 derajat kebaikan. Dan dengan membacanya akan diberi imbalan sebanding dengan membebaskan 4 orang budak, akan menjadi penjaga baginya sampai sore harinya. Dan barang siapa membacanya setelah shalat maghrib, seperti tersebut di atas hingga shubuh.”

3. Membaca

لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ اِلاَّ بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ. ×١
“Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah yang Maha Tinggi dan Maha Agung.”

Dalam sebuah hadits disebutkan

لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ اِلاَّ بِاللهِ … دَوَاءٌ مِنْ تِسْعَةٍ وَتِسْعِيْنَ دَاءٍ أَيْسَرُهَا اْلهَمُّ. (رَوَاهُ ابْنُ أَبِى الدُّنْيَا عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ)
“Laa haula walaa quwwata illaa billah .., itu merupakan obat dari 99 penyakit, sedang yang termudah dapat menghilangkan penyakit kesusahan.(HR. Ibnu Abi Dunya dari Abu Huroiroh).

Demikian pula disebutkan dalam kitab al Husunul Mani’ah, hlm. 19, karya Sayyid Muhammad bin ‘Alawi al Maliki al Hasani, menyebutkan mengenai kemanfaatan bagi orang yang suka membaca Hauqolah, antara lain :
Menghilangkan kesedihan.Merupakan tanaman surga yang kelak dipetiknya sendiri.Merupakan obat dari segala macam penyakit.Menjaga kenikmatan.Dijauhkan dari kemiskinan.

4. Membaca

اَللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلاَمُ وَمِنْكَ السَّلاَمُ تَبَارَكْتَ ذَالْجَلاَلِ وَاْلإِكْرَامِ.
Hadits riwayat Imam Muslim (931) yang bersumber dari Tsauban, meriwayatkan bahwa Nabi saw, setiap habis shalat selalu membaca do’a tersebut :
Isinya adalah kalimat do’a keselamatan dan berkah kepada Allah dengan menyebutkan salah satu Asma’ul husna, yaitu as-Salam.

5. Membaca surat al Fatihah.

6. Membaca surat al Baqoroh ayat 163.

وَاِلَهُكُمْ اِلَهٌ وَاحِدٌ لآ اِلَهَ اِلاَّ هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيْمُ.
Imam At Tirmidzi (3400) meriwayatkan dari Asma’ binti Yazid bahwa Nabi saw bersabda : “Asma Allah yang paling agung terdapat dalam 2 ayat ini (Wailahukum ilahun wahid…, Al Baqarah : 163) dan (alif lam mim Allahu lailaha illa huwa…, QS. Ali Imron :1).

7. Kemudian membaca Ayat Kursy (Surat Al Baqoroh ayat 255).

8. Lalu membaca surat Ali ‘Imron ayat 18 – 19

شَهِدَ اللهُ اَنَّهُ لآ اِلَهَ اِلاَّ هُوَ وَاْلمَلآئِكَةُ وَأُولُوالْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ. لآ اِلَهَ اِلاَّ هُوَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ. اِنَّ الدِّيْنَ عِنْدَ اللهِ اْلإِسْلاَمِ.

 9.Lalu Surat Ali ‘Imron ayat 26 – 27 

قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِى الْمُلْكَ مَنْ تَشَآء ُوَتَنْـزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَآءُ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَآءُ، وَتُذِلُّ مَنْ تَشَآءُ، بِيَدِكَ الْخَيْرُ إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْئٍ قَدِيْرٌ. تُوْلِجُ اللَّيْلَ فِى النَّهَارِ وَتُوْلِجُ النَّهَارَ فِى اللَّيْلِ، وَتُخْرِجُ اْلحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَتُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ. وَتَرْزُقُ مَنْ تَشآءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ.
Disebutkan pula dalam kitab Irsyadul Ibad hlm. 20 ,Hadits Nabi Riwayat Al Harits bin Umar dari Rosululloh bersabda

اِنَّ فَاتِحَةَ الْكِتَابِ وَآيَةَ الْكُرْسِيِّ وَشَهِدَ اللهُ اِلَى اْلإِسْلاَمِ. وَقُلِ اللَّهُمَّ اِلَىحِسَابٍ، مُعَلَّقَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ وَبَيْنَ اللهِ حِجَابٌ. قُلْنَ يَا رَبِّ أَتُهْبِطُنَا اِلَى أَرْضِكَ وَاِلَى مَنْ يَعْصِيْكَ. قَالَ اللهُ تَعَالَى : ِبْي حَلَفْتُ لاَيَقْرَأُكُنَّ أَحَدٌ دُبُرَ كُلِّ صَلاَةٍ اِلاَّ جَعَلْتُ الْجَنَّةَ مَثْوَاهُ عَلَى مَاكَانَ فِيْهِ. وَأَسْكَنْتُهُ خَطِيْرَةَ الْقُدْسِ وَنَظَرْتُ اِلَيْهِ بِعَيْنِي الْمَكْنُوْنَةِ فِيْ كُلِّ يَوْمٍ سَبْعِيْنَ مَرَّةً وَقَضَيْتُ لَهُ كَلَّ يَوْمٍ سَبْعِيْنَ حَاجَةً، وَأَدْنَاهَا اْلمَغْفِرَةُ وَأَعَذْتُهُ مِنْ كُلِّ عَدُوٍّ وَحَاسِدٍ وَنَصَرْتُهُ.
Artinya :
“Sesungguhnya surat Al-Fatihah, ayat kursi, ayat : syahidAllahu Sampai kata al-Islam, dan ayat: Qulillahumma sampai kata Hisab. Tergantung (di ‘Arsynya Allah) di mana antara bacaan-bacaan tersebut dengan Allah tidak terbatasi hijab. Bacaan-bacaan tersebut berkata kepada Allah : “Wahai Tuhanku, apakah Engkau akan menurunkan kami ke bumiMu dan kepada orang-orang yang bermaksiyat kepadaMu?”. Allah berfirman :” Demi Diriku Aku bersumpah, tidaklah seseorang membaca kalian setelah shalat kecuali Aku jadikan sorga sebagai tempatnya, dan Aku tempatkan dia di hadhirotul qudsi (pagar kesucian = nama suatu tempat di sorga), dan Aku melihatnya dengan “MataKu” yang tersembunyi setiap hari 70 kali, dan Aku kabulkan hajatnya setiap hari 70 hajat dimana hajat yang paling ringan adalah maghfiroh-Ku, dan Aku lindungi serta Aku beri kemenangan dia dari setiap musuh dan orang yang hasud.”

10. Kemudian membaca Tasbih 33 kali, Tahmid 33 kali, Takbir 33 kali.

Hadits dari Abu Huroiroh menjelaskan bahwa Rasulullah saw bersabda :
مَنْ سَبَّحَ اللهَ ِفيْ دُبُرِ كُلِّ صَلاَةٍ ثَلاَثًا وَثَلاَثِيْنَ وَحَمِدَ اللهَ ثَلاَثًا وَثَلاَثِيْنَ وَكَبَّرَ اللهَ ثَلاَثًا وَثَلاَثِيْنَ وَقَالَ عَام اْلمِائَةِ : لآ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ الخ .. غُفِرَتْ خَطَايَاهُ وَاِنْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ. (رواه مسلم)
“Barang siapa yang membaca tasbih di tiap-tiap habis menjalankan shalat (fardlu) 33 kali, membaca tahmid 33 kali, membaca takbir 33 kali, dan supaya genap 100 kali dia membaca :
لآ اِلهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ يُحْيِيْ وَيُمِيْتُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْئٍ قَدِيْرٌ. لاَحَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ اِلاَّ بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ.
Maka dosa-dosanya akan diampuni oleh Allah walaupun sebanyak bilangan buih lautan. (HR. Muslim : 939).

11. Kemudian membaca tahlil 

قَالَ ابْنُ زُبَيْرٍ : وَكَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يُهَلِّلُ بِهِنَّ دُبُرَ كُلِّ صَلاَةٍ. – رواه مسلم
“Sahabat Ibnu Zubair meriwayatkan bahwa Nabi saw membaca tahlil dan membaca lal ilaaha illAllah sehabis shalat. (HR. Muslim : 935, Nasa i : 1322, Abu Dawud : 1288).

III. KEUTAMAAN MEMBACA AYAT-AYAT AL QUR’AN UNTUK WIRID TERSEBUT.
A. Keutamaan membaca Ayat Kursy.

1. Memudahkan jalan masuk surga.
Hadits dari Abu Umamah r.a., Nabi saw bersabda :
مَنْ قَرَأَ آيَةَ الْكُرْسِيِّ دُبُرَ كُلِّ صَلاَةٍ لَمْ يَمْـنَعْهُ مِنْ دُخُوْلِ اْلجَـنَّةَ اِلاَّ اْلمَوْتُ. (رواه النسائي وابن حبان والطبراني
“Barang siapa membaca ayat Kursi setelah selesai shalat, maka tak ada yang akan menghalanginya masuk sorga kecuali mati”. (HR. Nasa’I, Ibnu Hibban dan Thobroni).[lihat Bulughul Marom : 58]

2. Supaya selalu dalam lindungan Allah swt.
Hadits dari Ali r.a, bahwa Nabi bersabda :
مَنْ قَرَأَ آيَةَ الْكُرْسِيِّ ِفيْ دُبُرَ كُلِّ الصَّلاَةِ اْلمَكْتُوْبَةِ كَانَ فِيْ ذِمَّةِ اللهِ اِلَى الصَّلاَةِ اْلأُخْرَى. (رواه الطبراني بإسناد حسن
“Barang siapa yang membaca ayat kursi setiap selesai shalat fardlu, maka ia berada dalam lindungan Allah sampai datangnya shalat yang lain. (HR. Thobroni dengan sanad yang hasan).

B. Keutamaan membaca surat Al Fatihah 

1. Setiap huruf yang diucapkan mengandung pahala.
Hadits riwayat Muslim : 1339 dari Ibnu Abbas r.a. bahwa “Setiap huruf yang diucapkan dalam surat al Fatihah selalu mengandung pahala bagi setiap yang mengucapkannya”.

2. Hadits riwayat Abdul Malik bin Umair bahwa Nabi saw bersabda :
ِ.فيْ فَاتِحَةِ الْكِتَابِ شِفَآءٌ مِنْ كُلِّ دَاءٍ
“Di dalam al Fatihah terdapat obat dari segala macam penyakit”. (Ad Darimi : 3236)

3. Juga dalam hadits yang lain :
اَلْفَاتِحَةُ لِمَا قُرِئَتْ لَهُ.
“Surat al Fatihah untuk apa saja, ia punya maksud dalam membacanya”.

4. Sabda Nabi :
فَاتِحَةُ الْكِتَابِ يَعْدِلُ بِثُلُثَى الْقُرْآنِ.
“Al Fatihahnya Al Qur’an itu pahalanya 2/3 al Qur’an”. (Mujarobat ad Daerobi)

C. Faedah membaca surat Ali ‘Imron ayat 18 :
شَهِدَ اللهُ اَنَّهُ لآ اِلهَ اِلاَّ هُوَ …….اِلاَّهُوَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ.
Adalah sebagai obat atau supaya tidak ditimpa penyakit. (lihat Risalah Do’a, H. Ja’far Sabran)

D. Faedah membaca Surat Ali ‘Imron ayat 26-27
قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ ………إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْئٍ قَدِيْرٌ.
Sabda Nabi kepada Sayyidina Mu’adz bin Jabal sewaktu ia tertimpa hutang yang banyak : “Aku ajarkan kepadamu dua buah ayat (Surat Ali ‘Imron ayat 26-27), apabila kamu amalkan dengan rajin, maka Allah akan memperluas rejekimu untuk membayar hutangmu, meskipun hutang itu sebesar gunung banyaknya. Setelah itu Sayyidina Mu’adz bin Jabal mengamalkan ayat tersebut menjadi wiridan, akhirnya dia mendapat rezeki yang luas dalam usahanya dan dapat membayar semua hutang-hutangnya”. (HR. Ath Thobroni) *)

IV. KESIMPULAN DAN PENUTUP
1. Setelah shalat disunnahkan membaca dzikir dan doa.
2. Keras atau pelannya dzikir bisa disesuaikan dengan kebutuhan.
3. Dianjurkan untuk memperbanyak dzikir dan amal sholih.
*)Lihat Syaroful Ummah Al Muhammadiyyah, karya As Syyid Muhammad bin Alawi Al Maliki Al Hasani, cet. Ketiga, tahun 1990, hlm. 184.

Kemana zakat fitrah harus dibagikan

 Mereka yang berhak menerima Zakat


Alhamdulillah
Penyaluran harta zakat wajib dilakukan kepada delapan golongan, Alloh –Ta’ala- telah menjelaskan dengan rinci, Dia –‘Azza wa Jalla- juga telah mengabarkan bahwa hal itu wajib dan berdasarkan ilmu dan hikmah. Alloh –Jalla Dzikruhu- :
( إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ ) التوبة/60 .
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS. At Taubah: 60)
Kepada delapan golongan tersebut zakat harus disalurkan.
Pertama dan kedua:
Mereka adalah orang-orang fakir dan miskin, diberikannya zakat kepada mereka untuk memenuhi kebutuhan dan keperluannya. Perbedaan antara orang fakir dan orang miskin adalah bahwa orang fakir lebih sangat membutuhkan, tidak bisa mencukupi kebutuhan diri dan keluarganya dalam waktu setengah tahun, sedangkan orang miskin, dia lebih tinggi statusnya dari pada orang fakir; karena mereka masih mendapatkan setengah kecukupannya atau lebih namun tidak sampai terpenuhi, mereka diberikan harta zakat karena mereka membutuhkan.
Akan tetapi bagaimana caranya memperkirakan kebutuhan tersebut ?
Para ulama berkata: “Mereka diberikan (zakat) karena kebutuhan mereka yang mencukupi mereka dan keluarganya untuk jangka waktu satu tahun; karena jangka waktu satu tahun jika sudah berlalu maka diwajibkan bayar zakat mal, sebagaimana “haul” (jangka waktu satu tahun) yang merupakan batasan waktu minimal untuk diwajibkannya zakat, maka sebaiknya haul juga menjadi batasan waktu minimal penyaluran zakat kepada orang-orang fakir dan miskin yang berhak menerima zakat. Ini merupakan pendapat yang baik dan bagus, yaitu; kita memberikan zakat kepada orang fakir dan miskin yang cukup bagi mereka dan keluarganya untuk kebutuhan selama satu tahun penuh, baik diberikan berupa barang, seperti; makanan, pakaian, atau diberikan berupa uang yang bisa dibelanjakan sesuai dengan kebutuhannya, atau diberikan kepadanya berupa alat tertentu untuk memproduksi barang tertentu, jika dia mampu memproduksinya, seperti; tukang jahit (tailor), tukang kayu, tukang besi atau yang serupa dengan itu. Yang penting kita memberinya sesuai kebutuhan dirinya dan keluarganya selama satu tahun.
Ketiga:
Mereka adalah para amil zakat, yang mereka ini ditunjuk dan diberi kekuasaan oleh waliul amri (penguasa setempat), oleh karenanya firman Alloh: ( وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا ) التوبة/60 (para pengurus-pengurus zakat ),  tidak difirmankan: العاملون فيها (para pengurus yang ada di dalamnya), Hal ini menunjukkan bahwa mereka mempunyai legalitas, mereka merupakan petugas pemerintah yang mengumpulkan zakat penduduknya dan membagikannya kepada mereka, mencatatnya dan lain-lain. Para amilin zakat dari pemerintah tersebut diberi bagian dari zakat.
Namun berapa banyak yang diberikan kepada mereka ?
Para amil zakat tersebut mereka berhak mendapatkan zakat karena pekerjaan mereka, dan barang siapa yang mempunyai kreteria tersebut maka diberikan sesuai pekerjaannya tersebut, maka atas dasar itu mereka diberikan karena mereka sebagai amil, baik mereka itu termasuk orang kaya atau orang fakir; karena mereka mengambil zakat disebabkan pekerjaan mereka bukan karena mereka membutuhkan, maka mereka diberikan sesuai dengan tuntutan pekerjaan mereka. Jika mereka para amil zakat dianggap juga sebagai orang-orang fakir, maka mereka diberikan karena sebagai amil dan diberikan juga untuk kebutuhan selama satu tahun karena kefakirannya; karena mereka berhak menerima zakat dengan dua kreteria, sebagai amil dan karena orang fakir, maka berhak menerima dua bagian. Akan tetapi jika mereka kita berikan untuk bagian amil saja dan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhannya selama satu tahun, maka kita lengkapi bantuan kepadanya selama satu tahun, contohnya: “Jika kami prediksi bahwa mereka cukup dengan 10.000 riyal selama satu tahun, dan jika karena kefakiran mereka kami beri mereka 10.000 riyal, dan bagiannya sebagai amil adalah 2.000 riyal, maka kami berikan 2.000 riyal karena dia sebagai amil, dan kami berikan 8.000 riyal karena dia juga sebagai orang fakir.
Keempat:
Orang-orang muallaf, adalah mereka berhak menerima zakat karena untuk mendekatkan hati mereka kepada Islam, baik masih sebagai orang kafir yang diharapkan masuk Islam, ataupun seorang muslim agar menguatkan imannya di dalam hatinya, bisa juga diberikan kepada seorang yang jahat untuk mencegah kejahatannya kepada umat Islam, atau yang serupa dengan itu yang dengan mengendalikannya menjadi maslahat bagi umat Islam.
Akan tetapi apakah dia disyaratkan harus sebagai seorang tokoh yang ditaati di kaumnya hingga dengan mengendalikannya menjadi maslahat bagi banyak orang, atau dibolehkan untuk memberikan zakat untuk mengendalikannya secara personal dan maslahat bagi dia pribadi, seperti seseorang yang baru saja masuk Islam, membutuhkan pendekatan (pendekatan hatinya kepada Islam) dan penguatan imannya ?
Inilah yang menjadi perdebatan di kalangan para ulama, yang lebih kuat bagi saya bahwa tidak masalah disalurkan zakat kepadanya untuk mendekatkan dirinya kepada Islam dengan menguatkan imannya, meskipun diberikan kepadanya secara personal dan bukan sebagai tokoh di kaumnya, berdasarkan keumuman firman-Nya:
( وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ )  
“dan para mu'allaf yang didekatkan hatinya”. (QS. At Taubah: 60)
Dan jika dibolehkan untuk memberikan kepada orang fakir karena kebutuhan fisiknya, maka pemberian kami kepada orang yang lemah imannya ini untuk menguatkan imannya tentu lebih utama; karena penguatan iman bagi seseorang lebih penting dari pada konsumsi jasmani.
Keempat golongan di atas diberikan zakat kepada mereka sebagai hak milik, menjadi hak miliki sepenuhnya meskipun kreteria mereka tidak lagi sesuai pada pertengahan tahun, mereka tidak wajib mengembalikan zakat mereka, akan tetapi tetap halal bagi mereka; karena Alloh mengabarkan kepemilikan mereka dengan huruf lam, sebagaimana dalam firman-Nya:
( إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ )
”Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya…”. (QS. At Taubah: 60)
Dia Alloh menggunakan huruf lam (ل  ) yang mengandung faedah: “Bahwa seorang yang fakir jika pada pertengahan tahun telah berubah menjadi kaya, maka dia tidak wajib mengembalikan zakat yang diterimanya, misalnya telah kami berikan kepadanya 10.000 riyal karena kefakirannya dan jumlah itu cukup untuk selama setahun, kemudian Alloh menjadikannya orang kaya pada pertengahan tahun dengan pekerjaannya, atau karena mendapatkan warisan dari kerabatnya yang meninggal dunia, dan lain-lain. Maka tidak wajib baginya untuk mengembalikan sisa hartanya yang berasal dari harta zakat, karena sudah menjadi hak miliknya.
Golongan kelima yang berhak menerima zakat adalah:
Perbudakan, berdasarkan firman Alloh:
( وَفِي الرِّقَابِ )
“untuk (memerdekakan) budak”. (QS. At Taubah: 60)
Para ulama mentafsiri ar Riqaab menjadi tiga bagian:
1.      Mukatab, budak yang membeli dirinya sendiri kepada tuannya dengan dibayar hutang yang menjadi tanggungannya, maka diberikan sesuai kesepakatan dengan tuannya.
2.      Budak yang dimiliki secara penuh lalu dibeli dengan harta zakat agar menjadi merdeka.
3.      Tawanan muslim yang ditahan oleh orang kafir, orang kafir tersebut diberikan dari harta zakat agar mereka tidak menyiksa tahanan tersebut. Demikian juga sebagai tebusan, jika ada orang kafir atau orang Islam yang menyandra salah seorang dari kaum muslimin, maka tidak masalah uang tebusannya diambilkan dari harta zakat; karena illah (sebabnya) satu, yaitu; membebaskan seorang muslim dari penahanan. Hal itu jika tidak ada cara lain untuk menebus para Sandra kecuali dengan tebusan uang dan para tahanan adalah kaum muslimin.
Keenam:
Mereka para gharimin (yang mempunyai hutang), ghurm adalah hutang. Para ulama –rahimahullah- telah membagi hutang menjadi dua ulama: hutang untuk memperbaiki karib kerabat dan hutang untuk memenuhi kebutuhan.
Adapun hutang untuk memperbaiki kerabat, mereka (para ulama) telah memberikan contoh jika terjadi permusuhan, pertengkaran atau perang antara dua kabilah. Kemudian ada orang baik, berwibawa dan ditokohkan yang datang untuk memperbaiki hubungan kedua belah pihak dengan bantuan dana yang ditanggung olehnya, maka kita memberikan kepada orang tersebut dana yang ditanggungnya dari harta zakat, sebagai balasan dari perbuatan baiknya yang telah dilakukan dengan menghilangkan permusuhan di antara kaum mukminin dan menjaga pertumpahan darah mereka. Orang tersebut diberikan harta zakat baik sebagai orang kaya atau orang fakir; karena kita tidak memberikan untuk memenuhi kebutuhannya, akan tetapi kita berikan karena dia telah melakukan perbutan demi kemaslahatan umum.
Adapun bentuk hutang yang kedua: orang yang berhutang untuk dirinya sendiri, dia berhutang kepada orang lain untuk memenuhi kebutuhannya sendiri atau untuk membeli sesuatu yang dibutuhkan dan menjadi tanggungannya, namun dia tidak mempunyai uang, maka hutangnya dilunasi dari harta zakat dengan syarat dia tidak mempunyai uang untuk melunasi hutangnya.
Di sini ada masalah, mana yang lebih utama kita memberikan harta zakat kepada orang yang berhutang agar melunasi hutangnya sendiri, atau kita langsung pergi menemui orang yang dihutanngi untuk melunasinya ?
Ini tentu berbeda, jika orang yang berhutang sangat serius untuk melunasi hutangnya dan membebaskan tanggungannya, sedangkan dia termasuk orang yang amanah, maka kita salurkan dana zakat kepadanya untuk melunasi hutangnya sendiri; karena akan lebih menjaga rahasianya dan mejadikannya jauh dari rasa malu dari orang-orang yang menagihnya.
Adapun jika orang yang berhutang tersebut termasuk orang yang suka mubadzir dan memhamburkan harta, dan kalau kita berikan dana langsung kepadanya maka dia akan membeli sesuatu yang tidak penting, maka kita tidak perlu memberikan kepadanya, akan tetapi kita langsung pergi kepada orang yang dihutangi olehnya dan berkata kepadanya: “Berapa hutang fulan ini kepada anda ?”, kemudian kita bayarkan semua hutangnya atau sebagiannya sesuai dengan kemampuan yang ada.
Ketujuh:
Mereka yang berada di jalan Alloh, maksud dari fi sabilillah di sini adalah jihad fi sabilillah bukan yang lain, tidak boleh di artikan pada semua sisi kebaikan; karena jika yang dimaksud semua sisi kebaikan maka tidak ada gunanya pembatasan istilah dengan “fii sabilillah” pada firman Alloh:
( إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ ) التوبة/60  
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS. At Taubah: 60)
Maksud fii sabilillah pada ayat tersebut adalah jihad fii sabilillah, orang yang berperang di jalan Alloh disalurkan harta zakat. Mereka yang secara dzahir berperang untuk meninggikan kalimat Alloh disalurkan harta zakat sesuai dengan kebutuhan mereka, untuk nafkah dan persenjataan, dan lain sebagainya. Dan boleh langsung dibelikan senjata bagi mereka dari harta zakat untuk berperang, dengan syarat peperangan tersebut harus di jalan Alloh. Perang di jalan Alloh telah dijelaskan oleh Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- pada saat ditanya tentang orang yang berperang untuk membela kelompok, berperang karena keberanian, berperang agar dilihat ia berada di jalan Alloh ?, beliau bersabda:
( من قاتل لتكون كلمة الله هي العليا فهو في سبيل الله )
“Barang siapa yang berperang untuk meninggikan kalimat Alloh maka dia berada di jalan Alloh”.
Seseorang yang berperang untuk membela kelompok negaranya atau yang lainnya untuk membela kelompok-kelompok lainnya, maka dia bukan termasuk yang berperang di jalan Alloh yang berarti dia tidak berhak mendapatkan apa yang didapat oleh mereka yang berperang di jalan Alloh, baik berupa harta duniawi ataupun urusan akherat. Seseorang yang berperang karena keberaniannya maksudnya dia menyukai perang karena dia berani –yang mempunyai sifat tersebut dan atas dasar apapun dia akan berangkat perang- maka dia bukan termasuk yang berperang di jalan Alloh, dan orang yang berperang agar dilihat kedudukannya berperang karena riya’ dan sum’ah maka juga bukan termasuk yang berperang di jalan Alloh, dan semua orang yang tidak berperang di jalan Alloh maka dia tidak berhak mendapatkan bagian dari zakat, karena Alloh –Ta’ala- berfirman:
( وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ (
“Dan (yang berperang) di jalan Alloh”
Dan orang yang berperang di jalan Alloh adalah orang yang berperang untuk meninggikan kalimat Alloh.
Para ulama berkata: “Dan termasuk fii sabilillah adalah seseorang yang memfokuskan diri untuk belajar ilmu syar’i, maka disalurkan kepadanya harta zakat sesuai dengan kebutuhannya, baik nafkah, pakaian, makanan, minuman, tempat tinggal dan buku-buku yang dibutuhkan; karena ilmu syar’i bagian dari jihad fii sabilillah, bahkan Imam Ahmad –rahimahullah- berkata: “Ilmu itu tidak bisa digantikan dengan yang lain, bagi siapa yang niatnya benar”. Ilmu adalah asal dari syari’at semuanya, tidak ada syari’at kecuali dengan ilmu. Alloh –Subhanahu wa Ta’ala- telah menurunkan al Qur’an agar manusia bisa mampu melaksanakan keadilan, dan mempelajari hukum-hukum syari’at mereka dan apa yang menjadi konsekuensi dari akidah, ucapan dan perbuatan mereka. Sedangkan jihadi di jalan Alloh maka benar, ia termasuk amal yang paling mulia, bahkan menjadi ujung tombak dari Islam, tidak diragukan lagi tentang keutamaannya, akan tetapi ilmu juga memiliki peran penting dalam Islam, hingga menjadikan masuknya seseorang ke medan jihad di jalan Alloh menjadi jelas tidak ada masalah di dalamnya.
Kedelapan:
Ibnu sabil, dia adalah seorang musafir yang perbekalannya habis di tengah jalan, maka disalurkan kepadanya harta zakat agar bisa pulang ke daerahnya, meskipun di daerahnya dia termasuk orang kaya; karena posisinya saat ini dia sedang membutuhkan, kita tidak mengatakan pada keadaan seperti itu: “Anda harus berhutang dan nanti wajib dilunasi”, karena kalau demikian kita telah memaksanya untuk membebaskan tanggungan hutangnya, akan tetapi jika dia memilih untuk berhutang dan tidak mau mengambil harta zakat maka silahkan saja. Jika kita mendapatkan seseorang yang bepergian dari Makkah menuju Madinah, dan di tengah perjalanan dia kehilangan bekalnya dan tidak mempunyai apa-apa lagi, padahal dia di kota Madinah termasuk orang kaya, maka kita berikan kepadanya zakat secukupnya agar dia bisa sampai Madinah saja, karena memang itulah kebutuhannya dan kita tidak memberinya lebih dari itu.
Dan jika kita telah mengetahui siapa saja yang berhak menerima zakat, maka selain dari pada itu baik yang berkaitan dengan kemaslahatan umum atau kemaslahatan khusus maka tidak bisa disalurkan zakat kepadanya, maka zakat tidak disalurkan untuk pembangunan masjid, tidak untuk memperbaiki jalan, tidak juga untuk membangun perkantoran dan lain sebagainya; karena Alloh –‘Azza wa Jalla- pada saat menyebutkan delapan golongan penerima zakat dalam firman-Nya:
( فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ )
“…sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS. At Taubah: 60)
Yaitu; bahwa pembagian tersebut hukumnya fardhu dari Alloh –‘Azza wa Jalla-.
Kemudian apakah semua mereka yang berhak menerima zakat, masing-masing harus disalurkan kepada mereka; karena huruf و (wawu) dalam ayat di atas menunjukkan penggabungan ?
Jawabannya:
Hal itu tidak wajib, berdasarkan sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- kepada Mu’adz bin Jabal –radhiyallahu ‘anhu- pada saat dia diutus ke Yaman:
( أعلمهم أن الله افترض عليهم صدقة في أموالهم ، تؤخذ من أغنيائهم فترد على فقرائهم )
“Beritahukan kepada mereka, bahwa Alloh telah menetapkan kepada mereka zakat dari harta mereka, yang diambilkan dari para orang kaya di antara mereka lalu dikembalikan kepada para fakir mereka”.
Di sini Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- tidak menyebutkan kecuali satu golongan saja. Hal ini menunjukkan bahwa Alloh ingin menunjukkan pada ayat di atas siapa saja yang berhak menerima zakat, jadi maksudnya bukan mewajibkan agar semua golongan mendapatkan bagian zakat.
Jika dikatakan: Kepada siapakah yang lebih utama penyaluran zakat dari delapan golongan penerima zakat tersebut ?
Jawaban kami:
“Yang lebih utama adalah jika kebutuhannya lebih mendesak; karena semua mereka itu telah berhak menerima sesuai dengan kreterianya, dan barang siapa yang lebih membutuhkan maka dia lebih berhak menerimanya, secara umum mereka yang lebih membutuhkan adalah orang-orang fakir dan orang-orang miskin, oleh karenanya Alloh memulai delapan golongan tersebut dengan mereka:
( إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ ) التوبة/60 .
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS. At Taubah: 60)
Wallahu a’lam

Mazda fi sya'ban 2

Mazda fi sya'ban 1