Rabu, 02 Desember 2015

AGUNGNYA HAK SUAMI

بِسْــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْـــــمِ  

Sudah menjadi sebuah tujuan pernikahan dari kedua belah pihak, yaitu menggapai kehidupan rumah tangga yang samawah (sakinah mawaddah wa rahmah). Setelah cinta bersemi, maka ikrar yang sucipun terucap dari lisan sang pengantin pria kepada wali pengantin wanitanya.
Setelah juga melalui proses taaruf, nazhar dan khitbah serta mengadakan pesta walimah yang syar’ii, sederhana dan berwibawa… maka suami istri yang baru ini layaknya seperti biduk kecil yang hendak berlayar ke tengah samudera kehidupan.
Ikhwatul- kiram wa akhwatul- karimat Begitu pentingnya bagi kedua belah pihak (suami maupun istri), untuk memahami hak2nya yang agung dan mulia. Suaminya mempunyai hak yang agung dalam islam, begitupun sang istri juga mempunya hak yang mulia dalam Islam. Allahu akbar, indah banget :-)

AGUNGNYA HAK SUAMI

Jika seorang istri yang shalihah boleh mengungkapkan isi hatinya, maka perasaannya akan bergumam :
Betapa agungnya hakmu terhadapku...? Andai ada manusia yang boleh kubersujud kepadanya,engkaulah yang tertuju, sebuah pengandaian yang kuketahui dari Rasulku.
Namun aduhai diri ini, alangkah sesalku....? Betapa kurangnya memenuhi hakmu.hanyalah pengampunanmu Rabbku, kemudian pemaafanmu atas segala celaku....?
Sebuah pernyataan yang memang semestinya terucap dari lisan seorang istri yang tahu ‘kadar’ seorang suami berikut haknya. Bagaimana tidak, sementara Rasul yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
لَوْ كُنْتُ آمُرُ أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةََ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا وَلاَ تُؤَدِّي الْمَرْأَةُ حَقَّ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْهَا كُلَّهُ حَتَّى تُؤَدِّيَ حَقَّ زَوْجِهَا عَلَيْهَا كُلَّهَا حَتَّى لَوْ سَأَلَهَا نَفْسَهَا وَهِيَ عَلَىظَهْرِ قَتَبٍ لَأَعْطَتْهُ إِيَّاهُ
* Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain niscaya aku perintahkan seorang istri untuk sujud kepada suaminya.*
Dan tidaklah seorang istri dapat menunaikan seluruh hak Allah SWT terhadapnya hingga ia menunaikan seluruh hak suaminya.

Sampai-sampai jika suaminya meminta dirinya (mengajak jima' ) sementara ia sedang berada diatas pelana ( yang dipasang diatas unta ) maka ia harus memberikannya ( tidak boleh menolak.)
(HR. Ahmad 4/381. Dishahihkan sanadnya oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Irwa` Al-Ghalil no. 1998 dan Ash-Shahihah no. 3366)
Al-Hushain bin Mihshan rahimahullahu menceritakan bahwa bibinya pernah datang ke tempat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena satu keperluan.
Seselesainya dari keperluan tersebut, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya:
أَذَاتُ زَوْجٍ أَنْتِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ. قَالَ: كَيْفَ أَنْتِ لَهُ؟ قَالَتْ: مَا آلُوْهُ إِلاَّ مَا عَجَزْتُ عَنْهُ. قَالَ: فَانْظُرِيْ أينَ أَنْتِ مِنْهُ، فَإنَّمَا هُوَ جَنَّتُكِ وَنَارُكِ
Apakah engkau sudah bersuami....?
Bibi al- hushain menjawab : *Sudah...?
* Bagaimana(sikap) engkau terhadap suamimu...?* Tanya Rasulullah lagi.?
Ia menjawab : *aku tidak pernah mengurangi haknya kecuali dalam perkara yang aku tidak mampu.*
Rasulullah bersabda : * Lihatlah dimana keberadaanmu dalam pergaulanmu dengan suamimu, karena suamimu adalah surga dan nerakamu.*
(HR. Ahmad 4/341 dan selainnya, lihat Ash-Shahihah no. 2612)
1 : Ditaati dalam selain perkara maksiat.
2 : istri tidak boleh keluar rumah kecuali dengan izin suaminaya.
3 : Istri tidak boleh puasa sunnah kecuali dengan izin suaminya.
4 : Istri tidak boleh mengizinkan seseorang  masuk kerumah suami kecuali dengan izinnya.
5 : Mendapatkan pelayanan (khidmat ) dari istrinnya.
6 : Disyukuri kebaikan yang diberikannya.

|

Tidak ada komentar:

Posting Komentar