Sabtu, 25 Juni 2016

Pengertian tentang ibadah mahdhoh dan ghoiru mahdhoh

IBADAH MAHDHOH DAN GHOIRU MAHDHOH 

Sebagaimana yang telah kita pahami bahwa ibadah terbagi menjadi dua yaitu ibadah mahdhoh dan ghoiru mahdhoh

Ibadah Mahdhah juga terbagi lagi menjadi dua:
1) Ibadah Mahdhah Muqayyad:
Ibadah murni yang ketentuan cara pelaksanaannya telah ditetapkan oleh Syara’, baik waktu pelaksanaannya, tempat, jumlah, dan detail pelaksanaan yang lain dan akhirnya pelaksanaan Ibadah semacam ini bersifat Tauqify, dan tidak boleh kita berinofasi terhadap ibadah semacam ini, semisal dengan Mengurangi jumlah putaran Thawaf dalam Haji, atau menambahkan jumlah Rakaat dalam salat, atau menambah jumlah mustahiq zakat dari delapan yang telah digariskan. Terhadap jenis Ibadah ini berlaku baginya Kaidah:
الأصل في العبادات التوقيف
“Asal pada ibadah-ibadah adalah tauqif.”

2) Ibadah Mahdhah Muthlaq:
Ibadah murni yang sumber dalilnya bersifat ‘Am (umum) dan tidak dijelaskan Tekhnis  (cara) pelaksanaannya, semisal Baca Al Qur’an, berdzikir. terhadap tekhnis pelaksanaan ibadah semacam ini kita bebas mengaktualisasi tekhnis pelaksanaannya, baik waktu, tempat, sendiri atau berjama’ah, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan syara’. Semisal membaca al qur’an atau berdzikir di kamar mandi (WC) atau tempat-tempat kotor yang lain.

Ibadah Ghairu Mahdhah yakni setiap pekerjaan yang hukum asalnya Mubah namun kemudian bisa bernilai Ibadah bergantung pada MAQASHID atau tujuan dari pelaksanaan pekerjaan itu sendiri. Untuk pekerjaan jenis ini berlaku baginya kaidah:

الاصل فى الاشياء الاباحة حتى يدل الدليل على تحريمه

“Asal dari segala sesuatu itu Mubah, sampai ada dalil yang menunjukkan atas keharamannya.”

Selanjutnya, jenis amal semacam ini dapat kita klasifikasikan dalam dua bagian :

Pertama :
Jenis amalan yang yang dapat bernilai Ibadah ditinjau dari niat atau tujuannya, contoh: PEMBERIAN UANG KEPADA ORANG LAIN, pemberian tersebut bisa menjadi Shadaqah Sunnah, Bisa menjadi Hibbah tanpa nilai Ibadah, Bahkan bisa dikategorikan Money Politic jika diberikan dengan maksud agar dipilih menempati jabatan tertentu.

Jadi jika ada dalil yang mengharamkan pemberian uang untuk money politic maka pemberian uang dengan maksud demikian dianggap terlarang.

Kedua :
Amalan atau pekerjaan yang Nilainya apakah ia termasuk Ibadah atau bukan, bergantung pada amalan berikutnya yang menjadi Maqashid-nya dimana pekerjaan ini hanya berfungsi sebagai WASILAH penghantar atau sarana untuk dapat dilaksanakannya amalan yang dimaksud. Amalan jenis berlaku baginya kaidah LIL WASA-IL HUKMUL MAQASHID di mana hukumnya bergantung pada amaliah yang menjadi MAQASHID atau MAUSUL ILAIH.

Contohnya mempelajari Ilmu Tajwid, ia menjadi wajib mengingat tuntutan membaca al qur’an dengan tartil (sesuai qaidah tajwid) adalah wajib. Kewajiban ini berhubungan erat dengan kaedah dalam disiplin Ilmu Ushul Fiqih pada Fasal MA LAA YATIMMUL WAJIB ILLAA BIHI FAHUWA WAJIB.

Contoh lain adalah membeli air pada dasarnya adalah mubah (boleh dibeli, boleh tidak, dan tidak berpahala). Namun ketika seseorang mau shalat fardhu tetapi tidak ada air di sisinya melainkan harus membeli dan ia memiliki kesanggupan untuk membeli air maka hukum membeli air di sini menjadi wajib dan berubah menjadi amalan yang berpahala serta dihitung sebagai ibadah ghairu mahdhah. Pada kasus tersebut, membeli air merupakan wasilah, sedangkan wudhu/ shalat adalah maqsud. Karena wudhu shalat fardhu itu syarat sah shalat fardhu tersebut maka membeli air juga dihukumkan wajib jika mampu.

Wallahu A'lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar