Minggu, 29 Mei 2016

Panggilan buat suami-istri menurut Islam

Kebanyakan kita memanggil istri atau suami tanpa disadari dengan panggilan mahramnya 

Di kitab Ar-Raudhatul Murbi’ Syarah Zadul Mustaqni’ juz 3/195, terdapat penjelasan berikut (yang artinya), “Dan dibenci memanggil salah satu di antara pasutri dengan panggilan khusus yang ada hubungannya dengan mahram, seperti istri memanggil suaminya dengan panggilan ‘Abi’ (ayahku) dan suami memanggil istrinya dengan panggilan ‘Ummi’ (ibuku).”Jadi, memanggil istri dengan “ukhti” (yang berarti “saudariku”) atau “dik” (yang maksudnya “adikku”) juga dibenci karena termasuk mahramnya, walaupun tidak berniat menyamakan dengan saudarinya. Keterangan ini dikuatkan pula di dalam kitab Al-Mughni juz 17/199, pasal “Dibenci bagi seorang suami memanggil istrinya dengan panggilan orang yang termasuk mahramnya, seperti suami memanggil istrinya dengan panggilan ‘Ummi’ (ibuku), ‘Ukhti’ (saudariku), atau ‘Binti’ (putriku).”
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dengan sanadnya dari Abu Tamimah Al-Juhaimi, “Ada seorang laki-laki yang berkata kepada istrinya, ‘Wahai Ukhti!’ Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘Apakah istrimu itu saudarimu?’ Beliau membencinya dan melarangnya.” (HR. Abu Daud: 1889)
Akan tetapi, hadits ini dhaif (lemah) karena pada sanadnya ada rawi yang majhul (tidak disebut namanya). Dijelaskan pula di dalam Syarah Sunan Abu Daud, yaitu ‘Aunul Ma’bud: 5/93, bahwa haditsnya mudhtharrib (guncang) sehingga tidak bisa dijadikan dalil.
Dari keterangan di atas maka sebaiknya suami tidak memanggil istrinya dengan panggilan “Ummi” (yang berarti “wahai ibuku”) atau “Ukhti” (yang berarti “wahai saudariku”) walaupun belum mempunyai anak, tetapi boleh memanggil dia dengan namanya atau lebih utama dipanggi nama kunyahnya seperti “Ummu Muhammad”.
Demikian pula istri, sebaiknya tidak memanggil suaminya dengan panggilan “Abi” (yang berarti “ayahku”) atau “Akhi” (yang berarti “saudara laki-lakiku”), tetapi panggil nama aslinya dan lebih utama dipanggil dengan nama kunyah atau gelarnya seperti Abu Muhammad, baik dia mempunyai anak yang bernama Muhammad maupun tidak, karena memberi kunyah atau julukan adalah sunnah, seperti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil seorang anak perempuan kecil dengan panggilan “Ummu Khalid”. (HR. Bukhari: 18/141)
Hendaknya kita mengetahui bahwa panggilan seorang suami kepada istrinya dengan panggilan “umi” atau “mama” atau “ibu” atau “adik” dan yang semisalnya, bisa dihukumi dhihar dan bisa tidak, sesuai dengan niatan sang suami. Hal ini berdasarkan sabda Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam:
(إنما الأعمال بالنيات، وإنما لكل امرئ ما نوى)
“Semua amalan mesti dibangun di atas niat, dan setiap orang hanyalah akan mendapatkan sesuai apa-apa yang dia niatkan.” (Muttafaq ‘alaih).
Apabila sang suami berniat dengan panggilan tersebut untuk menjadikan istri haram digauli (jima’) sebagaimana haramnya ibu, adik, dan mahram-mahram perempuan yang lain maka hal ini masuk dalam hukum dhihar.
Akan tetapi, kebanyakan orang yang menggunakan panggilan tersebut, terutama di negeri kita ini, tidaklah meniatkan yang demikian itu. Biasanya mereka menggunakan panggilan itu sebagai penghormatan dan ungkapan sayang pada istri atau dengan tujuan untuk mengajari anak-anak dalam memanggil orang tua mereka. Sehingga yang demikian ini tidaklah dihukumi dhihar.
Imam Ibnu Qudamah Rohimahulloh mengatakan:
“Apabila (suami) mengatakan: “Kamu di sisiku seperti ibuku atau semisal dengan ibuku,” apabila meniatkan dhihar maka dihukumi dhihar, menurut pendapat keseluruhan ulama.
Namun, jika meniatkan untuk penghormatan dan pemuliaan (sebagaimana mulianya ibu di sisi sang anak) maka bukanlah dhihar…
Demikian pula jika mengatakan: “Kamu itu adalah ummi (ibuku) atau “istriku itu adalah ummi (ibuku).” (Al-Mughny: 6/ 8)
Al-Lajnah Ad-Daimah ketika ditanyakan kepada mereka permasalahan semisal ini menjawab:
“Jika seorang suami berkata kepada istrinya: “Aku adalah saudaramu,” atau “Kamu adalah saudariku,” atau “Kamu itu adalah ibuku,” atau “seperti ibuku,” apabila menginginkan dengannya bahwa sang istri itu sama dengan orang-orang yang disebut tersebut dari sisi kemuliaan, kedekatan, kebaikan, penghormatan, atau dia sama sekali tidak meniatkan (dhihar) dan tidak pula ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa dia meniatkan dhihar, maka apa-apa yang dia ungkapkan tersebut bukanlah dhihar dan tidak ada konsekuensi apapun atas ucapan dia itu.
Namun, apabila dia menginginkan dengan kalimat-kalimat tadi dan yang semisalnya adalah dhihar, atau adanya tanda-tanda yang menunjukkan niatan dhihar padanya, seperti: terlontarnya kalimat tersebut dengan kemarahan atau sebagai bentuk ancaman untuk istri, maka yang demikian ini dihukumi dhihar, dan merupakan perbuatan yang haram.
Wajib atasnya bertaubat dan membayar kaffaroh sebelum mendatangi istrinya (jima’-red) yang berupa: membebaskan seorang budak.
Apabila tidak mendapatkannya maka berpuasa dua bulan berturut-turut.
Apabila tidak mampu, maka (kaffarohnya) adalah memberi makan enam puluh orang miskin.”(Fatwa Lajnah: 20/ 274)
[lihat juga: Hasyiah Ibnil Qoyyim ‘ala sunan Abi Dawud bersama ‘Aunul Ma’bud: 6/ 212)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar